Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, kini menjadi sorotan dalam upaya perdamaian dan stabilisasi di Gaza setelah konflik berkepanjangan. Blair sedang aktif terlibat dalam diskusi tingkat tinggi untuk memimpin pembentukan badan pemerintahan transisi di Gaza yang diinisiasi sebagai solusi sementara pascaperang, sebelum otoritas kendali dikembalikan kepada pihak Palestina.
Usulan pembentukan badan ini, yang disebut Otoritas Transisi Internasional Gaza (GITA), mendapat dukungan kuat dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta negara-negara Teluk. Rencana ini merupakan bagian dari inisiatif internasional yang mengedepankan peran serta berbagai pihak dalam mengelola proses rekonstruksi, pemulihan keamanan, dan tata kelola sipil di Gaza.
Tony Blair, yang juga pernah menjabat sebagai utusan khusus Kuartet Timur Tengah (terdiri atas PBB, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Rusia), menawarkan diri untuk memimpin badan transisi tersebut. Blair menyatakan komitmennya untuk memastikan pemerintahan sementara ini nantinya akan mengembalikan kendali penuh kepada Otoritas Palestina, sesuai dengan aspirasi rakyat Palestina dan norma internasional.
Blair menegaskan bahwa dirinya tidak mendukung ide apapun yang memaksa warga Gaza mengungsi atau kehilangan hak asasi mereka selama masa transisi. Ia juga terlibat dalam pembicaraan intens dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang diketahui mendukung rencana ini. Dalam pertemuan di Gedung Putih, para utusan khusus yang dinamis, termasuk Jared Kushner dan Steve Witkoff, membahas rencana tersebut secara menyeluruh demi mencari solusi permanen bagi stabilitas kawasan.
Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, menyambut baik gagasan ini dengan syarat bahwa Hamas harus dilucuti dari kekuasaan dan pelucutan senjata mereka mutlak dilakukan agar perdamaian dapat terwujud. Abbas menyatakan kesiapannya untuk bekerja sama dalam mewujudkan rencana perdamaian dua negara yang adil dan berkelanjutan
.
Salah satu aspek penting dari rencana ini adalah pembentukan pemerintahan transisi yang akan bertugas mengelola urusan sipil dan rekonstruksi di Gaza. Pemerintahan ini akan berada di bawah pengawasan PBB dan negara-negara pendukung internasional, memastikan pendekatan yang inklusif dan transparan selama masa kritis pascaperang.
Menurut laporan dari berbagai media internasional, termasuk BBC dan The Telegraph, rencana ini juga telah disampaikan oleh Presiden Trump dalam forum Majelis Umum PBB di New York kepada sejumlah pemimpin dunia, termasuk Presiden Indonesia Prabowo Subianto. Trump menyatakan optimismenya agar konflik yang telah berkepanjangan dapat segera diakhiri melalui langkah yang komprehensif ini.
Tony Blair, yang kini menginjak usia 72 tahun, menunjukkan kesiapan penuh dengan menjadikan pengalaman panjangnya dalam diplomasi Timur Tengah demi mewujudkan stabilitas dan kemakmuran di wilayah tersebut. Dia bertekad mengabdikan waktunya untuk menjalankan proyek transisi ini demi mencapai perdamaian yang nyata di Gaza
.
Meski mendapat dukungan internasional, rencana ini juga menghadapi sejumlah kritik dan tantangan. Ada kekhawatiran bahwa keterlibatan tokoh-tokoh dengan jejak sejarah kontroversial seperti Blair bisa menimbulkan keraguan di kalangan penduduk Gaza. Namun, Blair dan pendukungnya menegaskan tujuan utama mereka adalah memastikan keamanan, kemanusiaan, dan hak-hak warga Gaza tetap terjaga selama proses transisi.
Kesepakatan tentang pembentukan badan transisi ini juga dilihat sebagai momen penting dalam hubungan diplomatik regional, dengan melibatkan negara-negara Timur Tengah, dunia Barat, dan aktor internasional untuk kembali memberi harapan bagi perdamaian di kawasan yang telah lama bergejolak.
Dalam pernyataan terakhirnya, Tony Blair menyampaikan tekadnya untuk memimpin secara inklusif dan transparan. “Kami akan bekerja tanpa henti untuk memastikan transisi ini menjadi jembatan bagi perdamaian yang lebih stabil dan kemajuan yang berkelanjutan bagi rakyat Gaza,” ujarnya.
Sumber
https://analisis.republika.co.id/berita/t36wkj282/tony-blair-plan-israel-masuk-perangkap-beruang