Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan di era Presiden Joko Widodo, dalam perkara dugaan korupsi impor gula kembali mengguncang nalar publik tentang arti keadilan dan supremasi hukum di negeri ini. Di tengah gempuran berbagai pernyataan dan gestur politik, keputusan ini justru meninggalkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya diselamatkan oleh abolisi ini, Tom Lembong, Prabowo, atau Jokowi?
Di permukaan, abolisi adalah hak prerogatif presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, yang memungkinkan pemberian penghapusan penuntutan kepada seseorang dalam perkara tertentu. Akan tetapi, ketika abolisi diberikan kepada seorang mantan pejabat negara yang terseret dalam perkara serius menyangkut kerugian negara dan manipulasi regulasi perdagangan strategis, publik tentu berhak bertanya: keadilan untuk siapa?
Kasus ini berawal dari dugaan korupsi impor gula yang terjadi saat Tom Lembong menjabat Menteri Perdagangan (2015–2016), di mana sejumlah izin impor gula diduga diberikan kepada perusahaan tertentu tanpa prosedur yang sesuai, mengakibatkan kerugian negara dan instabilitas harga pasar domestik. Fakta bahwa Prabowo memberikan abolisi kepada Tom pada saat proses kasasi belum dijalani sepenuhnya memperkuat persepsi publik akan intervensi kekuasaan. Bukan tidak mungkin publik melihat ini sebagai upaya “cuci tangan” terhadap orang-orang di lingkaran kekuasaan lama.
Jika dalam beberapa tahun terakhir masyarakat disuguhi pertunjukan politik elitis yang saling memaafkan demi stabilitas kekuasaan, maka abolisi ini bisa jadi merupakan fragmen lanjutan dari naskah besar itu politik balas budi dan penyelamatan simbolik.
Menyelamatkan Siapa?
Pertanyaan “siapa yang diselamatkan” patut diajukan dengan tegas. Dalam kalkulasi politik, Tom Lembong bukan sekadar mantan menteri. Ia dikenal dekat dengan mantan Presiden Jokowi, dan dalam beberapa kesempatan menjadi corong kebijakan ekonomi pasar terbuka yang pro-liberalisasi.
Apakah keputusan abolisi ini bagian dari upaya Prabowo menjaga harmoni politik dengan Jokowi dan kelompok pendukungnya? Ataukah ini upaya meredam potensi keterbukaan lebih lanjut soal siapa saja yang terlibat dalam kartel impor pangan strategis selama bertahun-tahun? Jika Tom Lembong sampai diproses hukum sepenuhnya, bukan tidak mungkin jalur uang dan pengaruh akan mengarah ke sosok-sosok penting lainnya.
Dengan memberikan abolisi, Presiden Prabowo bisa saja sedang “menutup buku” lama sebelum mulai menulis lembaran barunya. Tetapi konsekuensinya, kepercayaan publik terhadap hukum dan kesetaraan di hadapan undang-undang menjadi korban.
Secara normatif, abolisi berbeda dari grasi atau amnesti. Abolisi diberikan sebelum proses hukum selesai, dengan tujuan mencegah atau menghentikan penuntutan. Akan tetapi, dalam praktiknya, abolisi sangat rawan dijadikan alat intervensi politik, terlebih jika tidak dibarengi transparansi dan akuntabilitas publik.
Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 memang memberikan presiden hak memberi abolisi dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Namun, proses pemberian abolisi kepada Tom Lembong dilakukan secara senyap dan minim penjelasan. Tak ada penjabaran alasan yuridis dan sosiologis yang bisa menjelaskan mengapa seorang terdakwa korupsi impor gula layak mendapat pengampunan proses hukum.
Di titik ini, publik patut menagih transparansi. Apa sebenarnya pertimbangan Presiden Prabowo? Apakah benar abolisi ini diberikan atas dasar pertimbangan kemanusiaan, atau justru untuk menyelamatkan wajah pemerintahan sebelumnya? Mengingat Jokowi hingga kini masih menjadi patron politik penting di balik Prabowo, wajar jika publik mencurigai adanya motif perlindungan terhadap lingkar kekuasaan lama.
Kritik ini tak berdiri di ruang kosong. Dalam beberapa tahun terakhir, publik disuguhi serangkaian pembiaran dan kompromi terhadap kasus-kasus korupsi kelas kakap. Dari kasus bansos, korupsi BTS Kominfo, hingga pembiaran terhadap kasus-kasus di BUMN strategis. Dengan begitu banyaknya kasus yang tak sampai ke meja hijau atau berhenti di tengah jalan, abolisi terhadap Tom Lembong menambah panjang daftar kegagalan negara menegakkan keadilan.
Kita patut bertanya: apakah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Apakah para pejabat dan elit politik bisa keluar dari jerat hukum hanya dengan tanda tangan presiden? Jika iya, maka masa depan supremasi hukum di Indonesia berada dalam bahaya besar.
Terlebih lagi, jika pola abolisi ini digunakan sebagai mekanisme barter politik, maka kita sedang menyaksikan pembusukan etik hukum yang semakin dalam. Negara hukum yang sehat bukan hanya ditegakkan oleh pasal dan prosedur, tapi oleh moral kolektif bahwa hukum tidak tunduk pada kekuasaan.
Masa Depan yang Gelap?
Dengan diberikannya abolisi ini, Prabowo sedang mengirim sinyal kuat kepada publik: bahwa rekonsiliasi politik dan stabilitas elite lebih penting daripada proses hukum dan pertanggungjawaban. Ironis, mengingat dalam banyak kampanyenya Prabowo menyuarakan semangat keadilan, anti-korupsi, dan penegakan hukum yang tegas.
Jika abolisi ini menjadi preseden, maka ke depan para pejabat yang bersekongkol dalam korupsi besar bisa berlindung di balik hubungan politik. Mereka cukup mendekat ke pusat kekuasaan dan menanti pengampunan. Keputusan memberi abolisi kepada Tom Lembong adalah ujian awal bagi kepemimpinan Prabowo. Sayangnya, alih-alih menunjukkan keberanian memutus mata rantai korupsi elite, Prabowo justru memilih jalan pintas penyelamatan politik.
Jika niatnya adalah memberi contoh keadilan yang berkeadaban, mengapa tidak membiarkan proses hukum berjalan dengan terbuka? Bukankah lebih adil jika masyarakat menyaksikan sendiri proses pengadilan dan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang bersalah?
Dengan keputusan ini, istana justru tampak melindungi masa lalu yang belum selesai, sambil menambal wajah masa depan dengan retorika penegakan hukum. Pertanyaan akhirnya: siapa yang benar-benar diselamatkan oleh abolisi ini? Tom Lembong, Jokowi, atau justru sistem oligarki yang semakin menancap di jantung republik?