Dua Tahun Menuju Berlakunya KUHP Baru : Benarkah Menyambut Modernisasi Hukum yang Responsif dan Berkeadilan?

Author PhotoFerdinan Hadi Irawan Hutagalung
27 Nov 2024
WhatsApp Image 2024-11-27 at 10.57.44

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP baru) yang disahkan pada Desember 2022 dan diundangkan pada 2 Januari 2023 akan mulai berlaku pada tahun 2026 mendatang dan menggantikan Wetboek Van Strafrecht yang merupakan KUHP warisan kolonial Belanda. Setiap formulasi hukum yang diusulkan dalam KUHP baru pastinya akan berpotensi memunculkan perdebatan, mengingat perbedaan kepentingan, perspektif, dan nilai yang berkembang dalam masyarakat.

Sebagai refleksi, hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupannya yang berbeda-beda terkadang mengalami pertentangan antara satu dengan yang lainnya. Agar tidak menimbulkan kerugian dan mengganggu kepentingan orang lain dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut, maka hukum memberikan aturan-aturan yang membatasi perbuatan manusia, sehingga ia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya. Tentunya, memenuhi harapan semua pihak merupakan tugas yang sangat kompleks dan hampir mustahil untuk tercapai.

KUHP baru merupakan salah satu langkah besar dalam usaha menyempurnakan hukum pidana nasional yang bertujuan untuk rekodifikasi, demokratisasi, konsolidasi; serta adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi. Melalui KUHP baru diharapkan dapat terwujud usaha pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terarah, terpadu, dan terencana sehingga dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

Penting untuk dicatat bahwa KUHP baru juga berupaya untuk menyelaraskan hukum pidana Indonesia dengan nilai-nilai dasar negara yang terkandung dalam Pancasila, seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta persatuan Indonesia. Dalam konteks ini, hukum pidana nasional dipandang tidak hanya berfungsi untuk menghukum, tetapi juga untuk menjaga keadilan sosial, dengan memastikan perlindungan terhadap hak asasi manusia, baik pelaku maupun korban.

Perubahan yang demikian, penting untuk menghindari penggunaan hukum pidana yang tidak sesuai dengan kebutuhan budaya hukum masyarakat dan kemajuan zaman, seperti yang terjadi dengan KUHP kolonial yang sudah usang. Beberapa konsep baru, seperti dekriminalisasi beberapa tindak pidana tertentu, pengaturan ulang terhadap tindak pidana yang lebih manusiawi, serta fokus pada rehabilitasi dan restorasi bagi pelaku tindak pidana, mencerminkan orientasi hukum yang lebih progresif dan berkeadilan.

Menilik lebih jauh, KUHP baru menghapus beberapa ketentuan yang dianggap tidak relevan dan dapat menimbulkan ketidakadilan. Sebagai contoh, sanksi pidana KUHP baru tidak hanya berorientasi pada pidana penjara dan pidana denda semata. Terdapat pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial yang merupakan pelaksanaan pidana alternatif dan menjadi konsekuensi diterimanya hukum pidana yang memperhatikan keseimbangan kepentingan antara perbuatan dan keadaan pelaku tindak pidana untuk mengembangkan alternatif selain pidana penjara.

Tantangan dan Prospek ke Depan

KUHP baru sempat mendapat sinisan dari berbagai kalangan melalui kritik tajam yang berfokus pada potensi kriminalisasi besar-besaran yang tercermin dalam sejumlah ketentuan yang ada. Melalui laman resmi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) KUHP baru disebut memperlihatkan kecenderungan untuk “the misuse of criminal sanction” di mana hukum pidana digunakan secara berlebihan dan tidak proporsional. Hukum pidana, yang seharusnya berfungsi sebagai ultimum remedium justru berisiko menjadi instrumen penekan atau pembalasan.

Pendekatan ini memperlihatkan kecenderungan untuk menjadikan hukum pidana sebagai solusi dari berbagai masalah sosial, menjadikannya seolah-olah sebagai panacea untuk setiap penyakit masyarakat. Padahal, hukum pidana seharusnya hanya digunakan untuk menangani permasalahan yang benar-benar membutuhkan intervensi tegas, bukan untuk menanggulangi masalah sosial yang lebih kompleks.

Dalam konteks ini, kolaborasi antara akademisi, praktisi, dan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan bahwa KUHP baru tidak menjadi alat penindasan, tetapi tetap berfungsi sebagai instrumen hukum yang adil dan efektif.

Meskipun KUHP baru akan segera diberlakukan, tantangan terbesar Indonesia dalam menyempurnakan sistem hukum pidana terletak pada tataran implementasi di lapangan. Masyarakat, aparat penegak hukum, serta lembaga-lembaga terkait perlu memahami dan menerima perubahan-perubahan yang ada dalam KUHP baru agar bisa diterapkan dengan baik.

Agar perubahan ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi bisa diimplementasikan secara efektif, dibutuhkan program sosialisasi yang luas mengenai ketentuan-ketentuan baru dalam KUHP baru. Seperti halnya dengan perubahan undang-undang lainnya, keberhasilan penerapan KUHP baru sangat bergantung pada kualitas dan integritas aparat penegak hukum, serta sistem peradilan yang berjalan di Indonesia.

Proses penyempurnaan ini bukanlah hal yang instan. Implementasi yang efektif, pengawasan yang ketat, dan penerimaan yang luas dari masyarakat serta integritas lembaga penegak hukum menjadi kunci agar perubahan ini dapat mencapai tujuannya dengan optimal. Melalui KUHP baru, Indonesia memasuki era sistem hukum pidana yang lebih modern, lebih adil, dan lebih sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Pembaruan ini diharapkan dapat menguatkan supremasi hukum, memberikan keadilan yang lebih merata, dan menciptakan rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia.

Artikel Terkait

Rekomendasi