Dilema Hak Cipta di Era “Artificial Intelligence (AI)”

Author PhotoDr. Lona Puspita,SH.MH.CPArb
13 Nov 2024
Image by Freepik

Hak cipta merupakan sejenis kepemilikan pribadi atas suatu ciptaan yang berupa perwujudan dari suatu ide dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Hak Cipta di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, Pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa “ Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan”.

Perlindungan terhadap suatu ciptaan sangat penting bagi pencipta. Di era Artificial Intelligence (AI) ini, AI bisa menghasilkan sebuah karya tanpa keterlibatan manusia secara langsung. Kondisi ini akhirnya menimbulkan benturan antara inovasi teknologi dengan perlindungan terhadap kekayaan intelektual terutama yang berkaitan dengan status kepemilikan hasil karya ciptaan AI.

Hak atas suatu ciptaan yang dilindungi oleh undang-undang sangat diperlukan oleh pencipta sehingga bisa menjamin kepastian hukum terhadap suatu karya yang dihasilkan oleh pencipta. Walaupun saat ini AI dapat menghasilkan karya tanpa keterlibatan langsung manusia, namun status kepemilikan hasil karya AI masih menjadi permasalahan tersendiri yang butuh perhatian semua pihak. Hal ini disebabkan karena dalam Undang-Undang Hak Cipta hanya menyatakan bahwa pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.

Lantas bagaimana dengan hasil karya yang dihasilkan oleh AI? Dapatkah AI dikatakan sebagai subjek hukum? Dalam undang-undang Uni Eropa yakni Artificial Intelligence Act (AIA) 2024 menyatakan bahwa sistem AI berada dibawah pengawasan manusia. Artinya manusia memiliki kendali penuh atas semua keputusan yang dibuat oleh AI, begitu juga hal yang berkaitan dengan segala kerugian menjadi tanggung jawab manusia atau dalam hal ini pengembang. Berdasarkan aturan diatas, maka Uni Eropa sepakat menetapkan sampai saat ini bahwa AI hanya sebagai objek hukum.

Sementara dalam Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, baik undang-undang hak cipta, hak paten dan desain industri sepakat menyatakan bahwa pencipta/penemu/desainer itu adalah seseorang atau beberapa orang. Dengan demikian, dalam undang-undang kekayaan intelektual indonesia, status AI juga hanya sebagai objek hukum. Karena status AI hanya sebagai objek hukum maka tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh AI tetap berada pada pengembang, operator atau pengguna AI dan tidak ada pengakuan hukum yang dapat diberikan kepada AI sebagai penyandang hak dan kewajiban seperti layaknya subjek hukum.

Untuk mengatasi polemik yang terjadi saat ini maka dibutuhkan regualasi terbaru yang mengatur mengenai hak cipta terutama yang berkaiatan dengan perluasan defenisi pencipta, hak ekslusif dan tanggung jawab dalam penggunaan AI. Dalam konteks internasional juga dibutuhkan suatu kesepakatan bersama mengenai status AI dalam perlindungan hak kekayaan intelektual karena AI adalah teknologi yang mengalami perkembangan yang sangat pesat saat ini.

Artikel Terkait

Rekomendasi