Kritikan keras yang selama ini dilayangkan oleh Lembaga Kebijakan Publik Indonesia (LKpIndonesia) terhadap Pemerintahan Desa Tanah Merah, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau menyoroti berbagai persoalan dalam tata kelola pemerintahan desa, terutama terkait maladministrasi, penyimpangan dana desa, dan ketidaktransparanan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dalam perspektif hukum, berbagai permasalahan ini harus dikaji dalam kerangka regulasi yang mengatur pemerintahan desa, transparansi keuangan, serta pertanggungjawaban aparatur desa. Pola yang sama masih mereka laksanakan hingga kepemimpinan, Muhammad Amin selaku PJ Kepala Desa Tanah Merah yang ditunjuk dan dilantik pada 5 Maret 2025 yang lalu. Apakah PJ Kades bisa memutus mata rantai?
Andre Vetronius, selaku Ketua Umum LKpIndonesia telah memberikan “Surat Terbuka” yang isi surat tersebut tidak lebih dan kurang bertujuan mengingatkan, memproses serta menindaklanjuti permasalahan hukum dan administrasi yang menjadi fenomena di Desa Tanah Merah selama ini. Berikut penjelasannya;
Pertama, Kedudukan Hukum Pemerintahan Desa. Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai adat. Kepala desa sebagai pemimpin pemerintahan desa memiliki tanggung jawab besar dalam menjalankan roda pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Pasal 26 ayat (4) UU Desa menyebutkan bahwa kepala desa berkewajiban:
– Melaksanakan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
– Menyelenggarakan pemerintahan desa secara transparan dan bertanggung jawab.
– Mengelola keuangan dan aset desa dengan baik.
Jika terjadi maladministrasi dan penyimpangan dana desa, maka hal tersebut melanggar kewajiban hukum kepala desa dan dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan.
Kedua, Maladministrasi dan Penyimpangan Dana Desa. Kritikan LKpIndonesia menyebutkan adanya dugaan penyimpangan dana desa. Dalam hukum administrasi, hal ini masuk dalam maladministrasi, yang menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, meliputi:
– Penyalahgunaan wewenang.
– Penyimpangan prosedur.
– Pengabaian kewajiban hukum dalam pelayanan publik.
Selain itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa menegaskan bahwa pengelolaan keuangan desa harus dilakukan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipatif, tertib, serta disiplin anggaran. Jika kepala desa menyalahgunakan dana desa, maka ia dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kasus penyimpangan dana desa, sanksi hukum yang dapat diterapkan adalah:
-Sanksi administratif, berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap.
– Sanksi pidana, jika terdapat unsur penyalahgunaan wewenang atau kerugian negara.
Ketiga, Disfungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Pelanggaran Prinsip Checks and Balances. BPD memiliki fungsi sebagai pengawas kinerja kepala desa dan perwakilan aspirasi masyarakat. Namun, jika BPD tidak menjalankan tugasnya dengan baik, maka prinsip checks and balances dalam pemerintahan desa akan terganggu.
Pasal 55 UU Desa menyebutkan bahwa BPD berhak:
– Mengawasi kinerja kepala desa.
– Menyampaikan aspirasi masyarakat desa.
– Membahas dan menyepakati peraturan desa bersama kepala desa.
Jika BPD tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka kepala desa dapat bertindak sewenang-wenang tanpa pengawasan yang efektif, yang berpotensi melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Keempat, Pengelolaan BUMDes yang Tidak Transparan. Salah satu kritik utama terhadap Pemerintahan Desa Tanah Merah adalah pengelolaan BUMDes yang tidak transparan. Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa, BUMDes harus dikelola dengan prinsip:
– Kemandirian ekonomi desa (Pasal 3).
– Akuntabilitas dan transparansi (Pasal 5).
Jika BUMDes tidak dikelola secara transparan, kepala desa dapat dikenai sanksi karena melanggar prinsip good governance dalam tata kelola keuangan desa seperti hal yang dilakukan oleh Sekretaris Desa.
Kelima, Implikasi Hukum dan Langkah Perbaikan. Dari perspektif hukum, kritik LKpIndonesia terhadap tata kelola Desa Tanah Merah memiliki dampak serius yang dapat berujung pada:
1. Audit Investigatif oleh Inspektorat Daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
2. Pemeriksaan oleh Aparat Penegak Hukum, jika ditemukan indikasi penyalahgunaan dana desa yang berpotensi melanggar UU Tipikor;
3. Pemberhentian Kepala Desa dan atau Pj Kepala Desa , sesuai dengan Pasal 29 UU Desa, jika terbukti melanggar ketentuan hukum yang berlaku;
4. Reformasi Tata Kelola Desa, dengan memperkuat transparansi, partisipasi masyarakat, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan desa.
5. Melakukan atau membersamai dengan aparat penegak hukum baik bersama tingkat pusat, provinsi maupun daerah.
Dalam perspektif hukum, kritikan LKpIndonesia terhadap Pemerintahan Desa Tanah Merah menunjukkan adanya potensi pelanggaran dalam tata kelola pemerintahan desa yang harus segera ditindaklanjuti. Pemerintah desa memiliki kewajiban untuk memastikan pengelolaan keuangan yang transparan, peran BPD yang optimal, serta pengelolaan BUMDes yang akuntabel. Jika BPD tidak mampu melakukan pengawasan dengan baik, lebih baik mereka mundur saja atau pada akhirnya dimundur paksa termasuk pengangkatan perangkat desa yang tidak sesuai dengan prosedurnya dan sarat maladministrasi.
Untuk itu tanpa adanya reformasi tata kelola, praktik maladministrasi dan penyalahgunaan kewenangan dapat semakin mengakar, yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat desa. Oleh karena itu, pengawasan dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci dalam memperbaiki sistem pemerintahan desa yang lebih baik dan berintegritas. Beranikah!