Todung Mulya Lubis Menyoroti Ketidakadilan Hukum dalam Kasus Mardani H. Maming

Author Photoportalhukumid
26 Oct 2024
Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M.
Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M.

Aktivis hak asasi manusia dan pengacara senior, Prof. Todung Mulya Lubis, mengungkapkan keprihatinannya terhadap ketidakadilan hukum yang terjadi dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan Mardani H. Maming. Dia menilai bahwa proses peradilan yang dialami mantan bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, ini merupakan contoh nyata dari miscarriage of justice, atau peradilan yang sesat. Menurut Todung, hukuman yang dijatuhkan kepada Mardani H. Maming tidak memiliki dasar yang kuat dan jelas, karena tidak didukung oleh alat bukti yang memadai.

Salah satu bentuk utama dari miscarriage of justice yang terjadi dalam kasus ini, menurut Todung, adalah pelanggaran hak atas peradilan yang adil (fair trial). Dia menjelaskan bahwa hakim cenderung memilih bukti yang mendukung tuntutan penuntut umum, sementara bukti-bukti lain yang berpotensi membela terdakwa diabaikan. Hal ini menimbulkan ketidakadilan yang sangat mencolok, di mana hakim lebih mengutamakan kesaksian tidak langsung (testimonium de auditu) daripada mempertimbangkan fakta-fakta yang lebih relevan yang dapat memberikan gambaran yang lebih objektif.

Todung menekankan bahwa seharusnya, jika alat bukti yang ada diperiksa dengan adil, tuntutan dari penuntut umum seharusnya tidak dapat dibuktikan. “Sikap berat sebelah seperti ini jelas merupakan unfair trial. Jika alat bukti yang ada dilihat secara fair, sebenarnya dakwaan penuntut umum tidaklah terbukti,” ujarnya dalam sebuah pernyataan di Jakarta.

Lebih lanjut, pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) ini menegaskan bahwa hakim dalam kasus Mardani H. Maming tampaknya memaksakan konstruksi hukum untuk memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor), yang kemudian diperbarui melalui UU Nomor 20 Tahun 2001. Todung menggarisbawahi bahwa pemaksaan tersebut terlihat dari cara hakim menganggap keuntungan dan pembagian hasil usaha sebagai bentuk pemberian hadiah. Menurutnya, pernyataan ini jelas merupakan kesalahan besar dalam penerapan hukum, karena membuat analogi yang tidak sesuai dengan prinsip legalitas, yang merupakan fondasi utama dalam hukum pidana.

“Korupsi memang merupakan masalah serius bagi bangsa ini. Namun, tidak berarti penanganannya dapat dilakukan secara sembarangan,” jelas Todung. Dia menambahkan bahwa seharusnya Mardani H. Maming yang kini menjadi terdakwa seharusnya dinyatakan bebas dari semua tuduhan, mengingat adanya ketidakadilan dalam proses peradilannya.

Todung juga menekankan perlunya langkah-langkah korektif untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. Meskipun Indonesia tidak mengenal sistem retrial seperti di Inggris, dia percaya bahwa lembaga peninjauan kembali dapat menjadi alternatif untuk melakukan koreksi atas kesalahan yang terjadi. “Saya berharap agar Mahkamah Agung dapat memberikan perhatian serius terhadap miscarriage of justice yang terjadi dalam kasus Mardani H. Maming. Dalam proses peninjauan kembali, saya akan menyiapkan dokumen amicus curiae yang akan saya kirimkan kepada Mahkamah Agung dalam waktu dekat,” pungkas Todung.

Sumber:
https://news.republika.co.id/berita/slxb8c458/todung-mulya-lubis-soroti-ketidakadilan-hukum-dalam-kasus-mardani-h-maming

Artikel Terkait

Rekomendasi