Dalam era globalisasi yang semakin berkembang, mobilitas individu antarnegara menjadi hal yang lumrah, termasuk dalam konteks hukum pidana. Fenomena ini menimbulkan tantangan baru, terutama terkait dengan penegakan hukum terhadap warga negara yang terlibat dalam tindak pidana di luar negeri.
Menyikapi kondisi tersebut, Desi Sommaliagustina Akademisi Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Humaniora (FHISH) Universitas Dharma Andalas menegaskan kepada Lembaga Kebijakan Hukum Publik Indonesia (LKpIndonesia) terkait urgensi pengesahan Undang-Undang Transfer of Prisoner (ToP) sebagai instrumen hukum yang krusial dalam melindungi hak-hak warga negara sekaligus memperkuat kerja sama internasional di bidang hukum pidana.
Transfer of Prisoner merujuk pada mekanisme pemindahan narapidana antarnegara berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral. Desi menilai bahwa regulasi ini penting untuk beberapa alasan; pertama, perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM); Salah satu aspek fundamental dalam Transfer of Prisoner adalah memastikan perlakuan yang manusiawi terhadap narapidana. Tidak jarang, Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjalani hukuman di luar negeri menghadapi tantangan berat, seperti keterbatasan akses terhadap bantuan hukum, kendala bahasa, serta perbedaan budaya dan sistem hukum. Dengan adanya UU Transfer of Prisoner, WNI dapat menjalani sisa hukuman di tanah air, di mana mereka lebih dekat dengan keluarga dan mendapatkan dukungan yang memadai, sesuai prinsip HAM.
Kedua, efektivitas pembinaan narapidana; narapidana yang dipindahkan ke negara asalnya lebih mudah diintegrasikan kembali ke masyarakat setelah menjalani hukuman. Hal ini karena mereka berada dalam lingkungan yang mendukung proses rehabilitasi, baik dari segi budaya, bahasa, maupun sistem sosial. Desi menilai bahwa proses pembinaan di dalam negeri juga memungkinkan pengawasan yang lebih efektif sesuai standar nasional.
Ketiga, memperkuat diplomasi hukum internasional; Dalam konteks hubungan internasional, UU Transfer of Prisoner menjadi wujud komitmen Indonesia dalam kerja sama global di bidang penegakan hukum. Regulasi ini memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi perjanjian internasional, memperluas jaringan kerja sama dengan negara lain, serta menunjukkan keseriusan Indonesia dalam menghormati prinsip-prinsip hukum internasional.
Tantangan dalam Implementasi
Meskipun urgensinya jelas, penerapan UU Transfer of Prisoner bukan tanpa tantangan. Akademisi FHISH Universitas Dharma Andalas menggarisbawahi beberapa isu penting, di antaranya: Berkaitan dengan harmonisasi hukum, setiap negara memiliki sistem hukum pidana yang berbeda, baik terkait jenis pidana, lamanya hukuman, hingga prosedur pemindahan. Diperlukan upaya harmonisasi agar transfer narapidana tidak menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari.
Selain itu, kapasitas lembaga pemasyarakatan. Pemindahan narapidana dari luar negeri ke Indonesia akan meningkatkan jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan yang sudah menghadapi masalah kelebihan kapasitas (overcrowding). Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia untuk mengelola narapidana tambahan. Selain dari kedua isu penting tersebut, negosiasi perjanjian internasional juga memiliki peran penting dalam hal ini. Ketika proses perjanjian dengan negara lain dilaksanakan tentunya memerlukan diplomasi yang kuat. Tidak semua negara memiliki kesepakatan yang sama terkait Transfer of Prisoner, sehingga Indonesia harus mampu membangun hubungan bilateral yang saling menguntungkan.
Sebagai solusi atas tantangan tersebut, Akademisi FHISH Universitas Dharma Andalas merekomendasikan beberapa langkah strategis: Pertama, penyusunan UU yang komprehensif. UU Transfer of Prisoner harus disusun dengan mengacu pada prinsip-prinsip hukum internasional dan kebutuhan nasional. Regulasi ini harus mencakup ketentuan teknis yang jelas mengenai syarat, prosedur, dan hak-hak narapidana yang ditransfer. Kedua, peningkatan kapasitas diplomasi hukum; Pemerintah perlu memperkuat kapasitas diplomat dan aparat penegak hukum dalam melakukan negosiasi internasional. Pelatihan mengenai hukum internasional dan hubungan diplomatik harus menjadi prioritas untuk memastikan perjanjian yang adil dan efektif. Ketiga, koordinasi antar lembaga; Implementasi UU ini memerlukan sinergi antara Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, Kepolisian, serta lembaga peradilan.
Koordinasi yang baik akan memastikan proses transfer berjalan lancar dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Keempat, pendidikan dan sosialisasi publik. Penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai manfaat UU Transfer of Prisoner. Sosialisasi kepada keluarga narapidana, organisasi masyarakat sipil, dan media massa dapat membantu mengurangi stigma serta mendorong dukungan publik terhadap regulasi ini.
Pengesahan UU Transfer of Prisoner merupakan langkah strategis dalam melindungi hak-hak warga negara Indonesia di luar negeri serta memperkuat sistem hukum nasional. Pandangan dari Desi Sommaliagustina,selaku Akademisi FHISH Universitas Dharma Andalas menegaskan bahwa regulasi ini tidak hanya berdampak pada perlakuan terhadap narapidana, tetapi juga mencerminkan komitmen Indonesia dalam menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kerja sama internasional. Dengan regulasi yang tepat, Indonesia dapat memastikan bahwa setiap warganya, di mana pun berada, tetap mendapatkan perlindungan hukum yang layak.