Meski berasal dari disiplin yang berbeda, politik dan hukum memiliki keterkaitan yang erat dalam konteks negara modern. Politik sering dipahami sebagai seni atau proses dalam mengambil keputusan yang mengikat seluruh masyarakat, sedangkan hukum adalah seperangkat aturan yang dirancang untuk mengatur tingkah laku warga negara. Hubungan keduanya menjadi sangat penting, terutama dalam negara hukum, di mana kekuasaan politik dibatasi oleh aturan hukum yang adil.
Budiono Kusumohamidjojo dalam Filsafat Hukum menegaskan bahwa hukum dalam negara hukum berfungsi sebagai aturan permainan (rules of the game) untuk mencapai cita-cita kolektif yang telah disepakati secara politik. Ini berarti, sejak awal hukum lahir dari kebutuhan untuk merumuskan kesepakatan politik secara tertulis, sistematis, dan mengikat. Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa hukum merupakan hasil formalisasi dari kehendak politik.
Namun hubungan ini bersifat timbal balik. Di satu sisi, hukum membutuhkan kekuatan politik yang sah untuk dapat ditegakkan. Ketika hukum dihadapkan pada pelanggaran serius seperti kekerasan atau manipulasi sistemik, negara harus hadir dengan instrumen politiknya untuk menindak secara efektif. Tanpa dukungan politik, hukum hanya menjadi norma kosong tanpa daya paksa.
Secara sosiologis dan praktis, hukum tidak berdiri sendiri sebagai lembaga otonom. Ia selalu berkelindan dengan struktur sosial, ekonomi, dan khususnya politik. Lembaga legislatif yang membuat undang-undang adalah arena utama tempat politik dan hukum bertemu. Produk hukumnya pun tidak netral, tetapi sarat muatan nilai, kepentingan, dan kekuatan.
Oleh karena itu, untuk memahami arah hukum di suatu negara, kita harus memahami dinamika politik yang menyertainya. Hukum bisa menjadi alat keadilan atau sebaliknya, alat kekuasaan—tergantung dari konfigurasi politik yang mendasarinya.