Eva Yuliana, anggota Komisi III DPR RI periode 2019–2024, memberikan tanggapan yang kritis terkait munculnya wacana untuk menempatkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di bawah struktur Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Menurut Eva, ide tersebut dapat menimbulkan berbagai persoalan mendasar baik dari perspektif hukum maupun tata kelola pemerintahan. Ia mengingatkan bahwa langkah ini memerlukan kajian mendalam mengingat dampak yang berpotensi luas terhadap fungsi, independensi, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum di Indonesia.
Dalam pandangannya, Eva menggarisbawahi peran strategis Polri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 5, Polri memiliki tugas utama sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), penegak hukum, serta pemberi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Lebih lanjut, Pasal 8 mengatur bahwa Polri berada langsung di bawah Presiden. Dengan ketentuan tersebut, Eva menilai, Polri sudah ditempatkan pada posisi yang independen dan strategis dalam menjalankan tugasnya sebagai institusi penegak hukum.
“Jika wacana ini benar-benar ingin diwujudkan, maka perubahan yang diusulkan akan membutuhkan revisi besar-besaran pada undang-undang yang berlaku. Proses legislasi seperti itu tidak hanya membutuhkan waktu lama, tetapi juga akan menyita banyak energi yang lebih baik digunakan untuk memikirkan kebijakan yang langsung berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujar Eva dalam pernyataan yang disampaikan usai diwisuda sebagai Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Sabtu, 30 November 2024.
Eva juga menekankan bahwa fungsi utama Polri sebagai penegak hukum harus dilindungi dari intervensi politik atau birokrasi yang dapat terjadi jika institusi tersebut berada di bawah Kemendagri. Penempatan ini, menurutnya, dapat memunculkan kekhawatiran serius terkait independensi aparat kepolisian. “Polri adalah penegak hukum yang harus berdiri netral. Jika berada di bawah kementerian, akan ada risiko besar terhadap integritas independensinya,” tegas Eva yang juga dikenal sebagai lulusan tercepat Prodi Doktoral Ilmu Hukum UNS.
Selain itu, ia mengingatkan pengalaman sejarah Indonesia ketika Kejaksaan Agung berada di bawah Kementerian Kehakiman pada era 1960-an. Eva menjelaskan, kondisi tersebut menciptakan banyak kendala operasional dan memengaruhi netralitas Kejaksaan. Pemerintah akhirnya menyadari bahwa lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan harus berdiri sendiri di luar struktur kementerian agar independensi dan profesionalismenya terjaga. “Jika wacana ini diterapkan, artinya kita bukan bergerak maju, tetapi malah mundur ke masa lalu,” jelas Eva, mengingatkan tentang pentingnya belajar dari sejarah.
Eva menegaskan, setiap perubahan besar yang menyangkut struktur Polri harus dipertimbangkan secara matang. Dampak perubahan semacam itu tidak hanya akan dirasakan oleh institusi kepolisian, tetapi juga akan memengaruhi tata kelola negara secara keseluruhan. Kepercayaan masyarakat terhadap Polri sebagai lembaga hukum yang netral dapat terganggu apabila terjadi campur tangan politik atau birokrasi dalam penegakan hukum.
Menurut Eva, alih-alih memunculkan wacana yang dapat menimbulkan kontroversi, semua pihak sebaiknya fokus pada upaya pembenahan institusi Polri. Pembenahan tersebut mencakup peningkatan profesionalisme aparat, perbaikan pelayanan publik, dan penguatan mekanisme akuntabilitas agar kepercayaan masyarakat terhadap Polri semakin meningkat. Dengan demikian, fokus pengelolaan Polri tetap pada tujuan utamanya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, bukan terjebak dalam polemik struktural yang tidak mendesak.
Secara keseluruhan, kritik Eva Yuliana terhadap wacana ini menekankan pentingnya menjaga Polri dalam posisi independen sesuai amanat undang-undang yang berlaku. Wacana penempatan Polri di bawah Kemendagri, menurutnya, tidak hanya berisiko menimbulkan persoalan hukum, tetapi juga dapat melemahkan fungsi penegakan hukum yang menjadi inti dari keberadaan Polri itu sendiri. Hal ini menjadi pengingat bagi seluruh pihak untuk selalu mempertimbangkan dengan hati-hati dampak luas dari setiap kebijakan yang diusulkan, demi menjaga stabilitas tata kelola pemerintahan dan kepercayaan masyarakat.