Ketegangan Diplomatik antara Turki dan Amerika Serikat, Ujian Bagi Hukum Internasional

Author PhotoDesi Sommaliagustina
19 Dec 2024
1c887c890ce64d71dec6be0994128644-Jordan_US_Blinken_126158265

Ketegangan diplomatik antara Turki dan Amerika Serikat kembali mencuat, memperlihatkan kompleksitas hubungan internasional antara dua sekutu NATO ini. Isu yang melatarbelakangi konflik ini, mulai dari perbedaan kebijakan di Suriah hingga perdagangan senjata dan hak asasi manusia, menyoroti bagaimana hukum internasional memainkan peran penting namun seringkali berada di persimpangan antara politik dan kekuasaan.

Hubungan bilateral antara Turki dan Amerika Serikat (AS) kembali memanas, ditandai dengan serangkaian pernyataan dan tindakan yang saling bertolak belakang. Di tengah gejolak geopolitik regional yang kompleks, isu Kurdi Suriah kembali menjadi titik api utama yang memicu benturan kepentingan mendasar antara kedua negara adidaya ini. Ketidaksepahaman mengenai strategi kontra-terorisme, definisi kelompok teroris, dan aspirasi politik Kurdi di Suriah telah menciptakan jurang pemisah yang semakin dalam, mengancam stabilitas regional dan kerjasama bilateral yang selama ini terjalin, meskipun rapuh.

Turki memandang kelompok militan Kurdi Suriah, khususnya Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG), sebagai cabang dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang telah lama berjuang untuk kemerdekaan Kurdi di Turki dan telah dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh Ankara. Oleh karena itu, setiap upaya AS untuk mendukung atau bekerjasama dengan YPG dalam konteks memerangi ISIS di Suriah dianggap sebagai pengkhianatan dan tindakan yang mengancam keamanan nasional Turki. Bagi Turki, dukungan AS terhadap YPG merupakan bentuk pengabaian terhadap ancaman eksistensial yang dihadapi negara tersebut dan tidak sejalan dengan komitmen AS terhadap stabilitas regional.

Ankara melihat tindakan AS tersebut sebagai langkah yang tidak hanya mengabaikan keprihatinan keamanan Turki, tetapi juga secara aktif mendukung kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi integritas teritorial dan kedaulatan negara. Sikap Turki ini didasari oleh sejarah konflik yang panjang dan berdarah antara Turki dan PKK, yang telah menelan banyak korban jiwa dan menyebabkan ketidakstabilan di wilayah tersebut.

Sedangkan AS memiliki perspektif yang berbeda. AS memandang YPG sebagai sekutu penting dalam perang melawan ISIS di Suriah. YPG telah terbukti efektif dalam pertempuran darat melawan ISIS, memberikan kontribusi signifikan dalam mengalahkan kelompok teroris tersebut. Kerjasama dengan YPG, menurut pandangan AS, merupakan langkah strategis yang diperlukan untuk menjamin keamanan regional dan mencegah kebangkitan kembali ISIS. Oleh karena itu, AS enggan untuk meninggalkan YPG, meskipun menyadari kekhawatiran Turki. AS berargumen bahwa dukungan terhadap YPG bukanlah bentuk dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan Kurdi, melainkan strategi pragmatis dalam memerangi terorisme. Namun, pandangan ini seringkali dianggap sebagai pembenaran yang tidak memadai oleh Turki, yang melihatnya sebagai bentuk dukungan terselubung terhadap aspirasi separatis Kurdi yang mengancam kesatuan negaranya.

Hukum Internasional dan Prinsip Kedaulatan
AS kerap mengkritik Turki terkait isu hak asasi manusia, seperti penindasan terhadap jurnalis, oposisi politik, dan minoritas Kurdi. Dalam perspektif hukum internasional, Turki memang memiliki kewajiban untuk mematuhi instrumen hak asasi manusia yang telah diratifikasi, seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Namun, kritik AS sering kali dipandang selektif dan bermotif politik, mengingat AS sendiri menghadapi kritik serupa di panggung internasional.

Sebagai anggota NATO, baik Turki maupun AS terikat pada prinsip kolektif aliansi tersebut. Ketegangan antara keduanya menunjukkan lemahnya mekanisme penyelesaian sengketa di dalam organisasi internasional semacam NATO. Tidak ada forum hukum yang efektif untuk menyelesaikan konflik antaranggota, sehingga perselisihan ini lebih sering diselesaikan melalui negosiasi politik dibandingkan jalur hukum formal.

Turki sebagai negara yang berdaulat, memiliki hak untuk menentukan kebijakan luar negeri dan dalam negerinya sesuai dengan hukum internasional. Tindakan Turki termasuk operasi militernya di Suriah dan pengadaan sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia telah memicu sanksi dari AS berdasarkan undang-undang domestik seperti Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA).

Sanksi ini meski legal di mata hukum domestik AS, sering kali menimbulkan perdebatan mengenai keabsahannya dalam kerangka hukum internasional. Prinsip non-intervensi dalam Piagam PBB menegaskan bahwa tidak ada negara yang berhak mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Dalam kasus ini, sanksi AS dapat dianggap sebagai bentuk tekanan politik yang melampaui batas prinsip non-intervensi tersebut. Selain itu, Turki berargumen bahwa tindakannya didasarkan pada hak untuk melindungi keamanan nasionalnya, seperti yang diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB. Pandangan ini sering berbenturan dengan interpretasi AS dan sekutunya yang menganggap beberapa tindakan Turki sebagai ancaman terhadap stabilitas kawasan.

Perbedaan persepsi ini memicu serangkaian tindakan yang memperkeruh hubungan bilateral. Turki telah melancarkan beberapa operasi militer di Suriah utara, menargetkan posisi YPG. Operasi-operasi ini seringkali menimbulkan kecaman dari AS, yang melihatnya sebagai ancaman terhadap stabilitas regional dan potensi untuk menghambat upaya kontra-terorisme. Sebaliknya, Turki menganggap operasi militer tersebut sebagai tindakan yang sah untuk melindungi keamanan nasionalnya dan mencegah ancaman dari YPG. Ketegangan semakin meningkat dengan adanya perselisihan mengenai zona aman yang diusulkan Turki di Suriah utara, yang akan menyingkirkan YPG dari perbatasan Turki. AS, sementara menyatakan dukungan terhadap zona aman, memiliki kekhawatiran mengenai proses dan implikasinya terhadap stabilitas regional dan hak-hak penduduk sipil.

Perdebatan ini diperumit oleh faktor-faktor geopolitik lain. Rusia dan Iran, yang memiliki kepentingan strategis di Suriah, telah memanfaatkan perselisihan Turki-AS untuk memperkuat pengaruh mereka di wilayah tersebut. Kedua negara tersebut memiliki hubungan yang kompleks dengan Turki dan AS, dan seringkali menggunakan isu Kurdi Suriah sebagai alat untuk memajukan agenda mereka sendiri. Hal ini semakin mempersulit upaya untuk menemukan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat.

Dalam teori, sengketa antara Turki dan AS dapat dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ) atau forum arbitrase internasional. Mengingat sifat konflik yang lebih bersifat politik daripada hukum, pendekatan ini jarang diambil. Penyelesaian konflik semacam ini lebih bergantung pada diplomasi dan negosiasi bilateral yang seringkali tidak menghasilkan solusi yang mengikat secara hukum.

Untuk menyelesaikan kemelut ini, dibutuhkan dialog yang konstruktif dan kompromi dari kedua belah pihak. AS perlu lebih memperhatikan kekhawatiran keamanan Turki dan mencari cara untuk menyeimbangkan dukungan terhadap YPG dengan menjaga hubungan yang stabil dengan Ankara. Turki, di sisi lain, perlu mempertimbangkan perspektif AS dan mencari solusi yang tidak mengorbankan stabilitas regional demi kepentingan jangka pendek. Mencari solusi yang mengakomodasi kepentingan keamanan Turki tanpa mengabaikan peran penting YPG dalam memerangi terorisme merupakan tantangan yang kompleks, tetapi perlu dilakukan untuk mencegah eskalasi konflik dan menjaga stabilitas regional.

Mekanisme diplomasi yang kuat, yang melibatkan mediator internasional yang netral, mungkin diperlukan untuk memfasilitasi dialog dan mencari solusi yang komprehensif dan berkelanjutan. Kegagalan untuk mengatasi perselisihan ini dapat memiliki konsekuensi yang serius, tidak hanya bagi Turki dan AS, tetapi juga bagi seluruh kawasan. Stabilitas regional, upaya kontra-terorisme, dan masa depan Suriah sendiri berada pada taruhannya.

Artikel Terkait

Rekomendasi