Dilema Etika pada Perguruan Tinggi Berstatus Badan Hukum

Ilustrasi Kampus (www.quipper.com).
Ilustrasi Kampus (www.quipper.com).

Dalam beberapa tahun terakhir, Perguruan Tinggi Negeri (PTN), khususnya yang berstatus sebagai Badan Hukum (PTN BH), telah menjadi sorotan publik terkait dengan praktik penerimaan mahasiswa yang melampaui kapasitas yang seharusnya. Fenomena ini memicu banyak kecemasan mengenai kualitas pendidikan, kesejahteraan mahasiswa, pertimbangan etis, serta dampaknya terhadap perguruan tinggi swasta. Sebagai lembaga pendidikan yang pada awalnya didirikan dengan tujuan menyediakan pendidikan berkualitas tinggi bagi masyarakat, banyak PTN BH kini dihadapkan pada dilema moral dan etika yang besar, demi mengejar tujuan pragmatis.

Kebijakan PTN BH untuk menerima mahasiswa lebih banyak dari kapasitas yang ada bisa dianggap sebagai keputusan yang berisiko dan berpotensi merusak fondasi pendidikan kita. Meskipun ada anggapan bahwa langkah ini diperlukan untuk mengakomodasi tingginya permintaan, kenyataannya jauh lebih kompleks. Perguruan tinggi bukan hanya tempat untuk belajar, tetapi juga merupakan ekosistem yang membutuhkan keseimbangan yang tepat antara fasilitas, tenaga pengajar, serta sumber daya lainnya untuk memastikan standar akademik yang layak.

Mengambil keputusan untuk menerima mahasiswa melampaui kapasitas ini tentu membawa dampak buruk yang nyata. Salah satu dampaknya adalah terbatasnya ruang kelas yang tersedia, yang kemudian memaksa sebagian besar kegiatan pembelajaran dilakukan secara daring, bahkan dengan jumlah mahasiswa yang sangat banyak dalam satu kelas akibat penggabungan kelas-kelas. Fenomena ini tidak jarang menyebabkan ketidakpuasan di kalangan mahasiswa yang merasa proses belajar mengajar menjadi kurang efektif. Selain itu, kualitas interaksi antara mahasiswa dan pengajar juga sangat terpengaruh, karena tidak ada cukup waktu atau kesempatan untuk berdiskusi secara mendalam.

Selain itu, ketidakseimbangan jumlah dosen menjadi masalah lain yang signifikan. Banyak PTN BH yang kekurangan tenaga pengajar sehingga menambah beban kerja yang luar biasa bagi dosen yang ada. Hal ini dapat mengurangi kualitas pengajaran, karena dosen tidak dapat memberikan perhatian yang memadai kepada setiap mahasiswa. Layanan mahasiswa, seperti konseling akademik, dukungan untuk kesehatan mental, dan bimbingan karier juga menjadi sangat terbatas. Semua ini menciptakan lingkungan akademik yang tidak sehat, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas lulusan dan menurunkan standar pendidikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Smith dan Jones (2020) mengungkapkan bahwa kualitas pendidikan sangat bergantung pada interaksi yang efektif antara mahasiswa dan pengajar, serta akses yang memadai terhadap sumber daya dan fasilitas. Ketika universitas menerima mahasiswa melebihi kapasitas, kualitas pendidikan secara keseluruhan pasti akan terganggu. Hal ini bukan hanya berdampak pada pengalaman akademis mahasiswa, tetapi juga mengancam prospek masa depan mereka. Pada gilirannya, kondisi ini akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di masa depan.

Lebih jauh lagi, layanan yang krusial bagi mahasiswa, seperti bimbingan akademik, dukungan kesehatan mental, dan konseling karier menjadi terganggu karena kelebihan jumlah mahasiswa. Bahkan, pembelajaran dan pengajaran sering kali terganggu oleh ketidakstabilan jadwal dan lokasi, karena keterbatasan ruang kelas yang memadai. Mahasiswa dipaksa untuk mengikuti kelas pada jam-jam yang tidak sesuai atau bahkan di luar kampus, yang mengganggu rutinitas dan kenyamanan mereka.

Pragmatisme Di Balik Keputusan Penerimaan Mahasiswa yang Berlebihan

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari tekanan finansial yang dihadapi oleh PTN BH. Dengan adanya otonomi yang lebih besar dalam pengelolaan keuangan, PTN BH semakin bergantung pada pendapatan yang diperoleh dari biaya kuliah. Ketika dana dari pemerintah semakin terbatas, universitas-universitas ini harus mencari cara untuk menutupi defisit keuangan mereka, salah satunya dengan meningkatkan jumlah mahasiswa. Dalam banyak kasus, PTN BH kini lebih berfokus pada pendapatan finansial daripada pada tujuan utamanya, yaitu menyediakan pendidikan berkualitas.

Perubahan ini menciptakan masalah etika yang serius. Universitas yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga yang menjaga integritas akademis kini banyak yang beroperasi lebih sebagai bisnis yang menghasilkan keuntungan. Ketika tujuan untuk memperoleh pendapatan mendominasi, kualitas pendidikan seringkali menjadi korban. Universitas mulai mengutamakan kuantitas mahasiswa demi keuntungan finansial, yang pada akhirnya mengorbankan misi mereka untuk memberikan pendidikan yang bermutu.

Sebagai lembaga yang memiliki status sebagai bagian dari sistem pendidikan publik, PTN BH memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga integritas akademik dan kesejahteraan mahasiswa. Menerima lebih banyak mahasiswa daripada yang bisa ditampung oleh kapasitas fisik dan akademik adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah tersebut. Padahal, mahasiswa yang memilih PTN BH dengan harapan mendapatkan pendidikan berkualitas tinggi, justru harus menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan.

Pengaruh pada Perguruan Tinggi Swasta

Selain dampak langsung pada kualitas pendidikan, kebijakan ini juga membawa dampak pada perguruan tinggi swasta. PTN BH, dengan segala reputasinya, seringkali dianggap lebih unggul dibandingkan perguruan tinggi swasta. Banyak calon mahasiswa yang lebih memilih PTN BH karena dianggap menawarkan pendidikan yang lebih baik dan lebih prestisius, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian. Banyak perguruan tinggi swasta yang menawarkan fasilitas, pembelajaran, dan layanan yang tidak kalah berkualitas.

Namun, dengan semakin banyaknya mahasiswa yang memilih PTN BH karena faktor harga yang lebih terjangkau dan reputasi yang lebih tinggi, perguruan tinggi swasta terpaksa bersaing ketat untuk menarik mahasiswa. Dalam beberapa kasus, hal ini menyebabkan perguruan tinggi swasta kesulitan untuk bertahan dan mempertahankan kelangsungan finansialnya, yang pada akhirnya menurunkan keragaman dan aksesibilitas pendidikan tinggi.

PTN BH harus mempertimbangkan kembali sikap mereka terkait penerimaan mahasiswa. Meskipun adanya tekanan finansial untuk meningkatkan pendapatan, tujuan pendidikan tinggi yang utama—yaitu menciptakan generasi yang cerdas, kritis, dan berintegritas—tidak boleh dikorbankan demi pragmatisme semata. Prioritas utama universitas harus tetap pada kualitas pendidikan dan kesejahteraan mahasiswa, bukan semata-mata pada kuantitas mahasiswa yang diterima.

Pemerintah, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pendidikan tinggi, harus memberikan perhatian yang serius terhadap fenomena ini. Kebijakan yang lebih bijaksana dan berkelanjutan perlu diterapkan untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia tetap berkualitas, adil, dan berorientasi pada masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sumber:
https://news.detik.com/kolom/d-7623393/dilema-moral-perguruan-tinggi-badan-hukum

Artikel Terkait

Rekomendasi