Kasus dugaan korupsi terkait importasi gula yang melibatkan Tom Lembong, mantan anggota tim sukses Anies Baswedan, kini sedang menjadi perhatian publik di Indonesia. Tom Lembong, yang pernah memegang jabatan penting di bidang perdagangan, diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan impor gula dari tahun 2015 hingga 2023.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Lembong sebagai tersangka dengan tuduhan bahwa ada penyalahgunaan kewenangan dalam proses importasi gula ini, yang menyebabkan kerugian bagi negara. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa penetapan status tersangka ini dilakukan atas dasar penegakan hukum yang murni tanpa ada intervensi politik. Ia juga menyatakan bahwa Kejagung berkomitmen untuk menindak kasus ini dengan transparansi, serta menghindari tuduhan politisasi di tengah situasi politik yang sensitif.
Kasus dugaan korupsi impor gula ini tentunya , sedang dalam sorotan publik, terutama terkait transparansi dan penerapan hukum. Lembong diduga terlibat dalam kasus impor gula yang dianggap telah menyalahgunakan izin impor sehingga merugikan negara. Pada kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan beberapa pihak sebagai tersangka, termasuk pejabat Bea Cukai setempat, untuk menggali keterlibatan dan aliran dana yang diduga terkait dengan korupsi dalam proses impor gula.
Hukum Tebang Pilih
Penetapan Lembong sebagai tersangka menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi penegakan hukum. Beberapa pihak menyoroti bahwa Lembong hanya menjabat sebagai Menteri Perdagangan selama setahun (2015-2016), namun disangkakan dalam kasus yang rentang waktunya hingga 2023.
Hal ini memicu kekhawatiran tentang kemungkinan adanya praktik “hukum tebang pilih,” di mana penegakan hukum tidak diterapkan secara merata dan adil. Kejaksaan Agung menegaskan bahwa penetapan Lembong sebagai tersangka murni berdasarkan penegakan hukum tanpa intervensi politik.
Banyak pihak, termasuk pakar hukum, menyoroti bahwa penanganan kasus ini seharusnya transparan dan tanpa adanya penerapan hukum yang “tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Hal ini karena ada kekhawatiran hukum diterapkan secara tebang pilih, terutama karena kasus tersebut melibatkan nama-nama penting.
Peraturan yang digunakan dalam kasus ini merujuk pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dan pengadaan barang oleh negara. Di sisi lain, pakar menilai bahwa kerugian negara dalam kasus ini harus dibuktikan dengan jelas untuk menguatkan pasal yang menjerat para tersangka, guna memastikan keadilan hukum bagi seluruh pihak yang terlibat.
Lembong disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kasus yang menjerat Tom Lembong memang dinilai oleh beberapa pakar hukum dan politik sebagai isu yang sarat dengan nuansa politik. Penetapan dirinya sebagai tersangka korupsi impor gula dan pelaporan terkait unggahannya tentang aturan pemilu oleh pihak tertentu, menurut beberapa pengamat, dapat dipandang sebagai bentuk tekanan politik.
Hal ini dikaitkan dengan sikap kritis Lembong terhadap beberapa kebijakan pemerintah dan pernyataan Presiden Joko Widodo tentang kampanye presiden. Sementara itu, pengamat hukum mencatat bahwa proses hukum seharusnya berjalan independen, tetapi sulit untuk menghindari persepsi publik bahwa kasus ini terkait dengan pandangan politik Lembong yang kerap mempertanyakan kebijakan pemerintah. Di sisi lain, pihak yang melaporkannya menyatakan bahwa tindakan mereka murni untuk menjaga keadilan dan menghindari penyebaran informasi yang salah.
Jadi, meskipun secara hukum kasus ini berjalan sesuai prosedur, pandangan bahwa ada muatan politik tidak dapat diabaikan pada kasus ini!