Wali Nagari: Mafia Tanah, Warisan Leluhur Berubah Menjadi Alat Spekulasi

Author PhotoDesi Sommaliagustina
25 Feb 2025
Masyarakat-Adat-Demo-Di-DPR-RI
Masyarakat-Adat-Demo-Di-DPR-RI

Dalam sistem pemerintahan nagari di Sumatera Barat, wali nagari memiliki kedudukan sentral sebagai pemimpin adat yang bertanggung jawab atas tata kelola pemerintahan dan tanah ulayat. Sebagai tokoh adat dan perwakilan masyarakat, wali nagari diharapkan menjaga dan melestarikan nilai-nilai adat serta melindungi tanah ulayat dari eksploitasi. Dalam praktiknya, tak sedikit wali nagari yang justru terlibat dalam praktik mafia tanah, menjadikan tanah ulayat sebagai komoditas yang menguntungkan bagi segelintir pihak.

Tanah ulayat adalah aset yang diwariskan turun-temurun kepada masyarakat adat dengan prinsip kebersamaan dan keadilan. Dalam sistem hukum agraria Indonesia, tanah ulayat diakui keberadaannya melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 dan berbagai peraturan turunannya. Celah hukum sering dimanfaatkan untuk mengalihkan kepemilikan tanah ulayat kepada pihak lain, baik melalui jual beli ilegal, persekongkolan dengan pengembang, maupun pemalsuan dokumen.

Dalam banyak kasus, wali nagari berperan aktif dalam proses ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kewenangan administratif yang dimilikinya, mereka dapat menerbitkan surat keterangan tanah, memberikan rekomendasi pengalihan hak, atau bahkan terlibat dalam manipulasi data pertanahan.

Modus Operandi Mafia Tanah oleh Wali Nagari
Fenomena Wali Nagari yang terlibat dalam mafia tanah biasanya melibatkan beberapa modus operandi. Wali nagari sering kali mengeluarkan SKT yang menyatakan bahwa sebidang tanah telah dimiliki oleh individu atau pihak tertentu, meskipun tanah tersebut masih berstatus ulayat. Dengan adanya SKT ini, proses sertifikasi tanah menjadi lebih mudah dilakukan.

Dalam beberapa kasus, wali nagari bekerja sama dengan pejabat agraria atau pengembang properti untuk mengubah status tanah ulayat menjadi tanah milik pribadi atau HGU (Hak Guna Usaha). Mereka menerima imbalan berupa uang atau keuntungan lainnya.

Tanah ulayat sering kali menjadi target investasi perusahaan besar, terutama di sektor perkebunan dan properti. Wali nagari yang memiliki otoritas atas tanah ini bisa saja melakukan kesepakatan dengan investor untuk mengalihkan tanah ulayat dengan alasan pembangunan, tetapi pada kenyataannya lebih menguntungkan segelintir pihak daripada masyarakat adat.

Beberapa wali nagari bekerja sama dengan oknum notaris dan pejabat pertanahan untuk memalsukan dokumen kepemilikan tanah. Hal ini bisa berupa pemalsuan tanda tangan pemilik tanah adat atau manipulasi data dalam sertifikat tanah.

Dampak Sosial dan Hukum
Praktik mafia tanah yang melibatkan wali nagari tidak hanya merugikan masyarakat adat, tetapi juga menciptakan ketimpangan sosial dan konflik agraria yang berkepanjangan. Masyarakat yang kehilangan tanah ulayat sering kali tidak mendapatkan kompensasi yang adil, sementara para elite lokal dan pengembang menikmati keuntungan besar.

Dari segi hukum, keterlibatan Wali Nagari dalam mafia tanah dapat dikenakan sanksi berdasarkan beberapa ketentuan hukum, antara lain:Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen, pasal 266 KUHP tentang memasukkan keterangan palsu dalam akta autentik, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jika terdapat unsur penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960** tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mengatur larangan pengalihan tanah ulayat secara sewenang-wenang

Untuk mencegah semakin maraknya keterlibatan Wali Nagari dalam mafia tanah, diperlukan langkah-langkah konkret tentunya. Pertama, pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus memperketat pengawasan terhadap penerbitan SKT dan sertifikasi tanah ulayat. Kedua, masyarakat harus lebih dilibatkan dalam pengawasan dan pengelolaan tanah ulayat. Transparansi dalam administrasi pertanahan harus menjadi prioritas utama.

Ketiga, aparat penegak hukum harus lebih proaktif dalam menangani kasus mafia tanah yang melibatkan pejabat adat. Wali nagari yang terbukti menyalahgunakan wewenangnya harus dijatuhi hukuman tegas untuk memberikan efek jera. Terakhir, dengan menerapkan sistem digital untuk pencatatan tanah ulayat, sehingga potensi pemalsuan dokumen dan manipulasi data dapat dikurangi.

Pada akhirnya, wali nagari seharusnya menjadi benteng pertahanan masyarakat adat dalam menjaga tanah ulayat. Namun, dalam banyak kasus, mereka justru berperan sebagai pelaku utama dalam mafia tanah. Jika tidak ada tindakan tegas dari pemerintah dan masyarakat, praktik ini akan terus berlanjut dan semakin merugikan hak-hak adat. Oleh karena itu, reformasi tata kelola tanah ulayat harus segera dilakukan agar tanah warisan leluhur tidak berubah menjadi alat spekulasi yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Selain itu, reformasi tata kelola tanah hendak berdampak positif dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat adat terkait tanah ulayatnya.

Artikel Terkait

Rekomendasi