Dalam dunia komunikasi, kata-kata memiliki kekuatan besar. Ungkapan “ubur-ubur ikan lele” yang saat ini viral di media sosial dan menjadi bahan perbincangan luas. Sekilas, frasa ini terdengar seperti sekadar permainan kata tanpa makna khusus, tetapi dalam perspektif hukum komunikasi, pernyataan semacam ini bisa memiliki konsekuensi yang lebih dalam.
Makna sebuah pesan tidak hanya bergantung pada kata-kata yang digunakan, tetapi juga pada konteks, intonasi, dan bagaimana penerima pesan menafsirkannya. Ungkapan “ubur-ubur ikan lele” awalnya mungkin tidak memiliki makna yang jelas, tetapi ketika digunakan untuk menyindir atau merendahkan seseorang, maknanya bisa berubah.
Frasa ini bukanlah idiom baku dalam bahasa Indonesia, melainkan ungkapan yang muncul dari fenomena viral. Biasanya, kata-kata seperti ini muncul dalam konteks humor atau sindiran, menggambarkan sesuatu yang tidak nyambung atau tidak masuk akal. Sebagian orang menggunakan “ubur-ubur ikan lele” untuk menyindir argumen yang tidak logis atau perdebatan yang melompat-lompat tanpa arah. Misalnya, dalam sebuah diskusi, jika seseorang mengalihkan topik secara tiba-tiba dan tidak relevan, orang lain mungkin merespons dengan,”Ini pembahasannya soal politik, kok jadi ubur-ubur ikan lele?”.
Jika diperhatikan, frasa ini mencerminkan beberapa fenomena sosial yang sering kita jumpai. Pertama, banyak diskusi di media sosial yang tidak terstruktur. Orang sering kali mengeluarkan argumen tanpa dasar yang jelas, atau menghubungkan dua hal yang sebenarnya tidak berkaitan. “Ubur-ubur ikan lele” menjadi simbol dari ketidakkonsistenan ini.
Kedua, generasi muda, terutama di internet, sangat akrab dengan humor absurd. Banyak istilah yang tercipta dari ketidaksengajaan atau lelucon internal di komunitas tertentu. “Ubur-ubur ikan lele” termasuk dalam kategori ini, di mana maknanya berkembang sesuai konteks yang diberikan oleh pengguna.
Ketiga, di era digital, hoaks dan opini ngawur sering beredar luas. Ungkapan ini bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap informasi yang tidak berdasar, dengan cara yang ringan tetapi tajam. Fenomena frasa seperti ini menunjukkan bagaimana bahasa terus berkembang.
Kata-kata baru muncul dari interaksi di dunia maya dan bisa menyebar dengan cepat. Di satu sisi, ini mencerminkan kreativitas berbahasa. Sisi lain, kita juga perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam komunikasi yang kehilangan makna akibat terlalu banyak menggunakan ungkapan absurd tanpa pemahaman yang jelas.
Perspektif Hukum Komunikasi
Indonesia menjamin kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kebebasan ini tidak bersifat absolut dan dibatasi oleh aturan yang melindungi kepentingan publik serta individu lainnya. Dalam kasus ungkapan “ubur-ubur ikan lele,” perlu dikaji apakah frasa ini memiliki unsur penghinaan, pencemaran nama baik, atau ujaran kebencian.
Dalam konteks hukum pidana, Pasal 310 KUHP mengatur tentang penghinaan, yang berbunyi:
“Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena penghinaan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Jika ungkapan “ubur-ubur ikan lele” digunakan untuk merendahkan atau menghina seseorang secara spesifik, maka ada kemungkinan penerapan pasal ini. jika tidak ada subjek hukum yang secara jelas menjadi korban, sulit untuk menjeratnya sebagai tindak pidana.
Selain itu, Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga dapat dikaitkan jika ungkapan ini disebarluaskan melalui media elektronik dengan tujuan merendahkan martabat seseorang. Jika ungkapan ini dianggap sebagai bentuk ujaran kebencian yang menimbulkan perpecahan di masyarakat, Pasal 28 ayat (2) UU ITE dapat menjadi dasar hukumnya. Pasal ini menyebutkan:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)…”
Namun, perlu dikaji lebih lanjut apakah ungkapan ini benar-benar memiliki dampak yang memicu kebencian atau hanya sebatas guyonan biasa. Untuk menilai apakah sebuah pernyataan bisa dijerat secara hukum, harus dilihat konteks penggunaannya. Jika frasa “ubur-ubur ikan lele” hanya digunakan sebagai candaan tanpa ada niat untuk merugikan atau merendahkan pihak tertentu, maka sulit untuk menjeratnya dalam ranah hukum. Jika ada bukti bahwa frasa ini digunakan untuk menyerang seseorang atau kelompok, maka bisa saja diproses lebih lanjut.
Dalam hukum komunikasi, terutama yang berkaitan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia, sebuah pernyataan bisa dianggap sebagai pencemaran nama baik atau penghinaan jika mengandung unsur merendahkan atau menyerang kehormatan seseorang. Artinya, meskipun kata-kata itu sendiri tampak tidak berbahaya, penggunaannya dalam konteks yang salah bisa berujung pada konsekuensi hukum.
Media sosial sering kali menjadi lahan subur bagi bahasa-bahasa baru dan meme yang berkembang tanpa kendali. Ketika sebuah frasa menjadi viral, banyak orang menggunakannya tanpa memahami konsekuensinya. Jika kata-kata seperti “ubur-ubur ikan lele” digunakan dalam konteks yang bernada menghina atau menyudutkan seseorang, maka individu yang merasa dirugikan bisa melaporkan kasus tersebut.
Di Indonesia, pasal dalam UU ITE sering kali digunakan untuk menindak ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Jika seseorang merasa dirugikan karena disebut dengan istilah tertentu di media sosial, mereka bisa mengambil langkah hukum. Kebebasan berbicara adalah hak fundamental. Dalam hukum komunikasi, hak ini dibatasi oleh tanggung jawab untuk tidak menyebarkan ujaran kebencian, hoaks, atau penghinaan. Ini berarti bahwa setiap individu harus bijak dalam menggunakan kata-kata, terutama di era digital yang jejak komunikasinya bisa bertahan lama dan menyebar luas.
Frasa seperti “ubur-ubur ikan lele” mungkin terdengar lucu atau tidak bermakna bagi sebagian orang, tetapi dalam konteks tertentu, bisa menjadi alat penghinaan yang berdampak hukum. Oleh karena itu, memahami makna, konteks, dan konsekuensi dari komunikasi digital menjadi sangat penting agar tidak terjebak dalam masalah hukum. “Ubur-ubur ikan lele” mungkin terdengar konyol, tetapi sebenarnya mengandung makna yang lebih dalam dalam konteks komunikasi dan kritik sosial. Ungkapan ini adalah cerminan dari cara masyarakat berbahasa di era digital cepat, kreatif, dan sering kali bersifat satir.
Dalam hukum komunikasi, tidak ada kata-kata yang sepenuhnya netral. Konteks dan tujuan penggunaannya menentukan apakah suatu ucapan bisa dianggap sebagai candaan atau justru melanggar hukum. Kasus seperti “ubur-ubur ikan lele” mengingatkan kita bahwa komunikasi bukan sekadar berbicara, tetapi juga bertanggung jawab atas apa yang kita sampaikan. Di era digital, setiap orang perlu lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata agar tidak berujung pada konsekuensi yang tidak diinginkan.
Tidak semua ucapan yang terdengar merendahkan dapat langsung dikategorikan sebagai pelanggaran pidana. Frasa “ubur-ubur ikan lele” mungkin hanya sebatas ekspresi kreatif, tetapi dalam situasi tertentu bisa berujung pada permasalahan hukum jika digunakan untuk menghina atau mencemarkan nama baik seseorang. Oleh karena itu, dalam bermedia sosial, penting untuk tetap berhati-hati dan memahami batasan hukum dalam berkomunikasi.
Pada akhirnya, penggunaan frasa seperti ini bisa menjadi hiburan, tetapi juga bisa menjadi pengingat untuk lebih kritis dalam berbicara dan berdiskusi. Jadi, sebelum kita ikut-ikutan mengatakan “ubur-ubur ikan lele”, ada baiknya kita memahami konteksnya agar tidak sekadar latah mengikuti tren.