Dalam situasi sosial, politik, dan hukum yang sering kali terasa kacau, kutipan Tan Malaka “Kita mencari kebenaran dan kewarasan di tengah kegilaan dunia” menjadi refleksi yang relevan untuk direnungkan. Kutipan ini menggambarkan tantangan yang dihadapi masyarakat, terutama ketika sistem hukum yang seharusnya menjadi pilar keadilan justru sering terjebak dalam lingkaran ketidakpastian dan manipulasi.
Hukum pada dasarnya adalah alat untuk menciptakan ketertiban, melindungi hak asasi manusia, dan menjamin keadilan bagi semua. Sering kali sistem hukum menjadi instrumen kekuasaan, di mana penegakan hukumnya berpihak pada kepentingan tertentu. Dalam kondisi seperti ini, kewarasan yakni berpikir jernih, kritis, dan logis menjadi sesuatu yang mahal. Ketika hukum dipermainkan, masyarakat kehilangan kepercayaan pada institusi yang seharusnya menjaga kebenaran.
Di Indonesia, kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat negara sering kali menunjukkan bagaimana hukum dapat dilumpuhkan oleh kepentingan politik. Diskrepansi antara penegakan hukum terhadap kaum elit dan masyarakat kecil menunjukkan ketimpangan yang nyata. Dalam konteks ini, kewarasan masyarakat diuji, bagaimana tidak, kita tetap mempercayai keadilan ketika hukum terasa memihak?
Kebenaran sering kali menjadi korban dalam dunia yang dipenuhi kegilaan baik dalam bentuk propaganda, berita palsu, maupun narasi yang dibangun oleh kekuasaan. Dalam sistem hukum, kebenaran dapat terkubur oleh manipulasi bukti, kesaksian palsu, atau interpretasi hukum yang bias. Situasi ini mengaburkan batas antara yang benar dan yang salah, menjadikan pencarian kebenaran sebagai perjalanan yang tidak mudah.
Dalam sebuah negara demokrasi, pencarian kebenaran semestinya dijamin oleh prinsip transparansi dan akuntabilitas. Sayangnya, tidak jarang proses hukum berjalan lambat dan tidak transparan, menciptakan ruang bagi kepentingan tertentu untuk merusak kebenaran. Akibatnya, masyarakat dipaksa untuk mengandalkan kewarasan kolektif mereka untuk memahami dan menilai fakta yang sebenarnya.
Pencarian kebenaran dan kewarasan tidak hanya menjadi tugas aparat hukum, tetapi juga tanggung jawab masyarakat. Dalam era digital, di mana informasi dapat dengan mudah disalahgunakan, masyarakat perlu mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Kesadaran hukum, partisipasi dalam pengawasan publik, dan keberanian untuk menuntut keadilan adalah bagian dari kewarasan yang harus dipertahankan.
Selain itu, para praktisi hukum, akademisi, dan lembaga peradilan memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga integritas hukum. Mereka harus memastikan bahwa hukum berjalan diatas prinsip keadilan, bukan kepentingan sempit. Dengan begitu, hukum dapat menjadi cahaya di tengah “kegelapan kegilaan” yang digambarkan Tan Malaka.
Kutipan Tan Malaka mengingatkan kita bahwa dalam menghadapi dunia yang penuh ketidakadilan, pencarian kebenaran dan kewarasan adalah perjuangan yang tidak boleh berhenti. Sistem hukum yang sehat adalah salah satu alat utama untuk menjaga kewarasan masyarakat. Namun, jika hukum itu sendiri terkontaminasi oleh kegilaan, maka masyarakat perlu bangkit untuk menjaga dan memperjuangkan kebenaran.
Dalam perjuangan ini, kita diingatkan bahwa kewarasan adalah keberanian untuk berpikir kritis dan bertindak benar meskipun menghadapi situasi yang tampak tidak masuk akal. Kebenaran mungkin sulit dicapai, tetapi ia tetap menjadi tujuan yang harus diperjuangkan demi keadilan dan kemanusiaan.