Riau: Rumahnya Korupsi? Mengkaji Penangkapan Pj Walikota Pekanbaru dari Perspektif Hukum

Author PhotoAndre Vetronius
03 Dec 2024
Foto Gedung KPK (infopublik.id).
Foto Gedung KPK (infopublik.id).

“Jika Anda ingin melihat watak seseorang, maka berikanlah dia jabatan. Nanti Anda akan tau sendiri bangaimana dia akan mempergunakan jabatan itu”

Masyarakat Riau dikejutkan dengan tertangkapnya Penjabat (Pj) Walikota Pekanbaru dalam kasus dugaan korupsi. Penangkapan ini tidak hanya menambah daftar panjang kasus korupsi di Riau, tetapi juga kembali menegaskan stigma lama. Riau adalah salah satu daerah yang kerap menjadi sorotan dalam indeks korupsi nasional. Dari perspektif hukum, kasus ini menjadi cerminan tantangan besar dalam pemberantasan korupsi, terutama di level pemerintahan daerah.

Korupsi di Indonesia telah lama dikategorikan sebagai extraordinary crime. Kejahatan ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks Riau, khususnya Pekanbaru, korupsi pejabat publik kerap dikaitkan dengan lemahnya pengawasan, konflik kepentingan, dan celah dalam sistem pengadaan barang dan jasa. Penangkapan Pj Walikota Pekanbaru ini sekali lagi menunjukkan bagaimana moral hazard di kalangan pejabat masih menjadi isu akut.

Menurut informasi awal, dugaan korupsi ini melibatkan kickback dari proyek tertentu. Modus seperti ini bukanlah hal baru didunia korupsi pemerintahan daerah. Namun, yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana seorang penjabat yang seharusnya menjadi figur sementara justru memanfaatkan posisi tersebut untuk keuntungan pribadi.

Menurut Lembaga Kebijakan Publik Indonesia (LKpIndonesia), penanganan kasus korupsi di Riau sama halnya dengan kasus di wilayah lain. Tentunya dalam konteks hukum akan menghadapi berbagai tantangan hukum antara lain: Pertama, politik lokal yang kompleks, intervensi politik kerap menjadi hambatan dalam penyidikan kasus korupsi. Ketergantungan penjabat terhadap restu politik memperbesar potensi penyalahgunaan wewenang.

Kedua, Budaya hukum yang lemah, rendahnya budaya antikorupsi di kalangan birokrasi menciptakan vicious circle korupsi. Penjabat publik sering kali menganggap korupsi sebagai hal yang biasa karena rendahnya penegakan hukum di masa lalu.

Ketiga, sistem pengawasan yang tidak efektif. Pengawasan oleh pemerintah pusat dan lembaga pengawas lainnya sering kali hanya bersifat formalitas. Ketidakefisienan ini memungkinkan manipulasi anggaran dan penyalahgunaan jabatan.

Keempat, hukuman yang tidak menimbulkan efek jera. Meski sudah ada UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001), hukuman yang dijatuhkan sering kali dianggap tidak cukup berat untuk mencegah tindakan serupa.

LKpIndonesia juga menambahkan kasus ini adalah pembuka jalan untuk memberantas korupsi. Kami akan dorong pemerintah melalui KPK, atau lembaga lainnya ini untuk membongkar atau memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Dalam hemat kami, tidak menutup kemungkinan nanti ada beberapa Kabupaten dan Kota yang nantinya (Kepala Daerah), oknum atau lembaga penegak hukumnya juga akan tersandung kasus yang sama, khususnya wilayah Riau ini. Dan pada akhirnya kasus ini akan merembet hingga ke beberapa Desa yang sudah dalam pantauan kami nantinya.

Beberapa langkah perlu segera diambil untuk mencegah kasus, Langkah Pertama, penguatan sistem pengawasan internal. Kementerian Dalam Negeri perlu mereformasi sistem pengawasan terhadap penjabat kepala daerah, termasuk melalui audit berkala dan pemantauan digital atas kebijakan anggaran. Langkah kedua, penegakan hukum yang cepat dan transparan. Kasus ini harus menjadi prioritas penanganan oleh KPK atau Kejaksaan, dengan proses hukum yang cepat dan terbuka untuk menegaskan pesan bahwa korupsi tidak akan ditoleransi.

Langkah ketiga, peningkatan pendidikan antikorupsi. Mengatasi korupsi membutuhkan perubahan budaya hukum, yang dapat dimulai dengan edukasi di level birokrasi dan masyarakat. Dan yang terakhir pengawasan partisipatif oleh masyarakat sangat diperlukan. Pemanfaatan teknologi informasi seperti e-procurement atau e-budgeting perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat memantau langsung penggunaan anggaran daerah.

Penangkapan Pj Walikota Pekanbaru bukan hanya sekadar kasus individu, tetapi cerminan masalah struktural dalam tata kelola pemerintahan di Riau mulai tingkat Kabupaten/Kota hingga Desa. Stigma “Riau rumahnya korupsi” hanya dapat dihapus jika ada komitmen bersama, baik dari pemerintah, aparat penegak hukum, maupun masyarakat, untuk memutus rantai korupsi secara sistematis.

Dengan menegakkan hukum secara tegas dan menghapus celah dalam sistem, ada harapan bahwa Riau tidak lagi menjadi simbol korupsi, melainkan daerah yang mampu bangkit dengan tata kelola yang bersih dan transparan.

Artikel Terkait

Rekomendasi