Permasalahan Overcapasitas Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan Pada Lapas atau Rutan Dalam Perspektif Kebijakan Kriminal

Author PhotoRuth Elisabeth
08 Dec 2024
kak sabet

 

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, bahwa Pemasyarakatan meruapakan tempat terakhir dalam sistem peradilan pidana. Undang-Undang ini merupakan subsistem peradilan pidana yang dalam penyelenggaraannya meliputi penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap tahanan, anak, dan warga binaan. Namun, tujuan dari pembinaan di Lapas seringkali terjadi hambatan dikarenakan jumlah warga binaan yang melebihi kapasitas. Hampir di seluruh penjara di Indonesia terjadi overcapasitas sehingga seluruh kegiatan tidak berjalan dengan maksimal dan tidak menjalankan fungsi pemasyarakatan dengan baik.

Overcapasitas di Lapas telah mengakibatkan beberapa permasalahan, seperti pelayanan kesehatan yang berjalan kurang baik, kegiatan pembinaan tidak berjalan dengan maksimal, kegiatan kunjungan yang sangat membludak dan yang paling penting adalah rentan mengakibatkan gangguan keamanan dan ketertiban di Lapas. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, Sistem Peradilan Pidana tidak memprioritaskan pidana penjara sebagai pidana pokok. Sehingga dapat dikatakan bahwa KUHP baru menambahkan alternatif pidana lain selain pidana penjara. Hal ini tentu akan memberikan dampak positif bagi Lapas, sehingga tujuan dari sistem peradilan pidana bahwa Lapas adalah tempat terakhir bisa berjalan dengan optimal, serta bagaimana kebijakan kriminal ke depan dalam menanggulangi kelebihan kapasitas hunian warga binaan pemasyarakatan.

Sistem Peradilan Pidana pada hakikatnya merupakan sistem yang melibatkan hubungan antara beberapa lembaga yang dikenal sebagai lembaga penegak hukum. Pemasyarakatan dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana kerap kalo dipadankan dengan Lapas yang diletakkan sebagai lembaga purna ajudikasi dalam sistem peradilan pidana. Hal ini disebabkan dengan Undang-Undang Pemasyarakatan lama hanya mengamanatkan dan memandatkan dua tugas, yaitu pembinaan narapidana oleh Lapas dan pembimbingan klien pemasyarakatan oleh Balai Pemasyarakatan.

Padahal secara empiris dan praktis selain tugas pembinaan narapidana dan pembimbingan klien, pemasyarakatan juga menjalankan tugas memberikan pelayanan tahanan dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan sekaligus dalam Undang-Undang Pemasyarakatan menjadi dasar pemecahan masalah yang dihadapi Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, seperti belum maksimalnya program pembinaan dan reintegrasi sosial serta manajemen terhadap pengelolaan barang hasil rampasan dan benda sitaan dan biaya pemeliharaannya.

Namun demikian dalam perjalanan waktu tampak jelas bahwa tujuan pembinaan napi ini banyak menghadapi hambatan dan berimplikasi pada kurang optimalnya bahkan dapat menuju pada kegagalan fungsi sebagai lembaga pembinaan. Permasalahan mendasar yang tampak riil adalah adanya kelebihan hunian atau over kapasitas narapidana di Lapas-Lapas hampir seluruh Indonesia. Penempatan narapidana selain berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) juga terdapat di Rumah Tahanan Negara (Rutan). Ini terjadi karena di Indonesia jumlah Unit Pelaksana Teknis (UPT) pemasyarakatan masih terbatas dan tidak sebanding dengan jumlah narapidana yang setiap hari terus saja meningkat. Sehingga dalam pelaksanaan tugas, pokok dan fungsinya Lapas tidak hanya sebagai tempat pembinaan narapidana namun juga sebagai tempat penahanan bagi tahanan yang belum diberikan vonis hukumannya oleh hakim.

Over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan telah mengakibatkan beberapa permasalahan, seperti semakin rendahnya pelayanan kesehatan, kurang berjalannya program pembinaan secara maksimal, dan yang paling utama adalah terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan. Kelebihan daya tampung pada Lapas di Indonesia terjadi pada hampir di seluruh Kanwil Kementerian Hukum dan HAM.

Problem mendasar dalam kebijakan kriminal di Indonesia adalah kecenderungan untuk terjebak pada wilayah pragmatis dan kuantitatif dan tidak berupaya menggali nilainilai yang hidup ke dalam proses reformulasi kebijakan. Faktor tersebut berimplikasi pada wajah hukum pidana yang overcriminalization dan overreach of the criminal law. Overcriminalization berdampak pada minimnya pilihan-pilihan bagi para hakim dalam menjatuhkan alternatif pidana lainnya.

Akibatnya, kecenderungan pemidanaan terjebak pada skema yang sempit yang menyebabkan suburnya paradigma retributif, sehingga penjara merupakan opsi paling rasional yang dapat dilakukan. Salah satu upaya penanggulangan Over Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia adalah dengan upaya pencegahan dalam pembaharuan hukum pidana yang perlu dilakukan guna mengantisipasi pelonjakan narapidana yang terus menerus meningkat. Pelonjakan narapidana disebabkan tindak pidana yang diancam pidana penjara paling banyak dalam KUHP. Bila mengacu terhadap KUHP dalam Pasal 10, dijelaskan bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana denda, pidana kurungan dan ditambah lagi pidana tutupan.

Dalam pelaksanaan pemidanaan hakim cenderung memutus perkara dengan menjatuhkan pidana penjara, hal ini dikarenakan sistem pemidanaan yang kaku dalam KUHP saat ini. Kebijakan kriminal ke depan dalam menanggulangi kelebihan kapasitas hunian warga binaan pada Lembaga Pemasyarakatan adalah dengan pembaharuan hukum pidana yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Dalam KUHP baru telah mengakomodir langkah-langkah yang diharapkan mampu mencegah terjadinya over kapasitas di Lembaga Permasyarakatan di antaranya Reorientasi Tujuan Pemidanaan dan Konsep Individualisasi Pidana. Dan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 memuat pembaharuan substansi Sistem Pemasyarakatan, antara lain penguatan posisi pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana terpadu.Selain itu fungsi pemasyarakatan yang dituangkan dalam Undang-Undang Pemasyarakatan baru lebih kompleks dan menyeluruh.

Artikel Terkait

Rekomendasi