Perdebatan Garis Kemiskinan

20140705miskin-dikota.jpg

Pemerintah terus menyampaikan kabar baik: angka kemiskinan menurun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2024, jumlah penduduk miskin tinggal 9,03 persen. Di atas kertas, klaim ini menjanjikan. Tak sedikit masyarakat mempertanyakan logika di balik angka tersebut. Sebab dalam kenyataannya, kebutuhan pokok terus melonjak, harga sewa kamar petak makin mencekik, sementara pendapatan banyak warga nyaris tak bergerak. Benarkah kemiskinan kita menurun, ataukah yang menurun justru sensitivitas negara dalam mengenali kemiskinan yang sesungguhnya?

Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS adalah Rp550.458 per kapita per bulan, atau sekitar Rp18.000 per hari. Seseorang dengan pengeluaran sedikit di atas angka itu, secara statistik dianggap “tidak miskin”. Logika ini menuai tanya: apakah seseorang yang hidup dengan Rp20.000 sehari, di tengah harga nasi bungkus yang bisa mencapai Rp15.000, layak dianggap sejahtera?

Pendekatan ini memang memenuhi kaidah statistik. Namun dalam hukum, dan terutama dalam mandat konstitusi, kehidupan warga negara tidak bisa diukur hanya dengan angka. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Sementara Pasal 34 menegaskan: fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Maka, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: apakah garis kemiskinan kita masih relevan dalam memenuhi janji konstitusi itu?

Antara Angka dan Hak Konstitusional

Persoalan garis kemiskinan bukan sekadar urusan teknis para ahli statistik. Ia adalah dasar dari banyak keputusan kebijakan: siapa yang berhak menerima bantuan sosial, siapa yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), dan siapa yang dinilai cukup layak menanggung hidupnya sendiri.

Ketika definisi kemiskinan terlalu sempit, maka mereka yang hidup dalam kesulitan ekonomi, tetapi tidak memenuhi ambang angka resmi—terpaksa menanggung beban tanpa uluran negara. Dalam konteks hak konstitusional, ini bisa dikategorikan sebagai kelalaian negara dalam memenuhi kewajiban dasarnya.

Sayangnya, belum ada satu pun undang-undang yang secara komprehensif mengatur tentang ukuran kemiskinan berbasis hak. Sampai saat ini, regulasi yang berlaku masih bertumpu pada peraturan BPS dan pedoman teknis kementerian, tanpa ruang yang cukup bagi pendekatan multidimensi.

Konsekuensi dari pendekatan sempit terhadap garis kemiskinan adalah munculnya “kemiskinan yang tak terlihat”. Ini adalah kemiskinan yang tersembunyi dari radar negara, bukan karena tidak ada, melainkan karena tidak dikenali oleh kriteria yang digunakan.

Kelompok ini sering disebut sebagai “nyaris miskin” atau “miskin struktural”. Mereka adalah buruh harian lepas, pedagang kaki lima, hingga pekerja informal yang tidak memiliki jaminan kerja, kesehatan, atau tabungan. Mereka hanya selisih ribuan rupiah dari garis kemiskinan, namun sangat rentan jatuh lebih dalam ketika krisis datang.

Jika negara terus menggunakan pendekatan satu dimensi, maka mereka akan terus terpinggirkan. Padahal, dalam pandangan hukum sosial, negara berkewajiban untuk melindungi mereka yang paling rentan, bukan sekadar mereka yang sudah jatuh ke dasar statistik.

Negara Hukum, Bukan Negara Angka

Banyak kepala daerah menerima data dari pusat tanpa melakukan verifikasi lapangan yang memadai. Akibatnya, penerima bantuan sosial bisa meleset: yang tidak layak justru menerima, sementara yang layak malah tersingkir. Ombudsman Republik Indonesia mencatat, keluhan terbanyak dalam layanan sosial berasal dari ketidaksesuaian data kemiskinan. Ini membuka ruang maladministrasi dan diskriminasi dalam perlindungan sosial.

Dalam konteks hukum administrasi, situasi ini bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pemerintah tidak boleh menggunakan data yang tak akurat sebagai dasar membuat keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Dunia internasional telah lama meninggalkan pendekatan tunggal dalam mengukur kemiskinan. Indeks Kemiskinan Multidimensi (Multidimensional Poverty Index) yang dikembangkan oleh UNDP telah digunakan di banyak negara sebagai alat ukur baru: lebih manusiawi, lebih kontekstual. Indonesia pun sudah mulai merintis penggunaan MPI dalam laporan pembangunan manusia, namun belum menjadi dasar resmi dalam kebijakan sosial dan anggaran negara.

Pendekatan ini penting, karena memperhitungkan tidak hanya pendapatan, tetapi juga akses terhadap pendidikan, air bersih, sanitasi, listrik, layanan kesehatan, dan kepemilikan aset. Kemiskinan bukan hanya soal isi dompet, tetapi juga soal kualitas hidup.

Di tengah ketimpangan sosial dan tekanan ekonomi yang makin terasa, negara perlu kembali pada prinsip dasarnya: bahwa kekuasaan dijalankan untuk melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Bukan untuk menumpuk pencapaian statistik yang tak dirasakan manfaatnya oleh rakyat.

Negara hukum bukan sekadar negara angka. Ia adalah negara yang menyandarkan kebijakannya pada keadilan, partisipasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Maka, tugas negara bukan hanya menurunkan angka kemiskinan, melainkan memastikan bahwa setiap warga negara hidup dalam martabat, bukan sekadar bertahan hidup.

Masyarakat tidak butuh angka-angka yang menenteramkan, tetapi kebijakan yang menyentuh dan menjawab realitas hidup mereka. Di sanalah letak ujian sejati bagi negara: apakah garis kemiskinan yang dipilih negara benar-benar berpihak pada mereka yang hidup di bawahnya?

Artikel Terkait

Rekomendasi