Penegakan Hukum Terhadap Perbuatan Kohabitasi Sebelum dan Sesudah Diatur KUHP 2023
Perbuatan Kohabitasi atau kumpul kebo merupakan perbuatan yang saat ini marak terjadi di kalangan anak muda zaman sekarang. Menurut Nasrullah, kumpul Kebo merupakan perbuatan tinggal serumah tanpa adanya ikatan perkawinan. KUHP sekarang yaitu buatan kolonial Belanda tidak mengenal yang namanya kohabitasi (kumpul kebo). KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) hanya mengenal yang namanya perzinahan yang diatur dalam Pasal 284. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, zina diartikan sebagai : Perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan) dan perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang permpuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.
Penindakan Terhadap Perbuatan Kohabitasi
Perilaku kohabitasi (kumpul kebo) merupakan suatu perbuatan yang memiliki ruang lingkup lebih luas dari pada perzinahan atau perbuatan kesusilaan lainnya. Perbuatan yang dapat merusak moral generasi bangsa ini sama halnya dengan perilaku pergaulan bebas yang dilakukan oleh remaja atau sepasang muda-mudi yang melakukan perbuatan asusila tanpa ikatan perkawinan yang sah. Kasus pergaulan bebas di kalangan masyarakat khususnya yang dilakukan oleh para pemuda dan pemudi ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan kesopanan yang hidup di masyarakat. Menurut studi pada 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation yang berdasarkan data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi. Hal ini mengungkapkan bahwa kumpul kebo lebih banyak terjadi di Indonesia bagian Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Menurut peneliti Yulinda Nurul Aini, setidaknya ada tiga alasan mengapa pasangan di Manado memilih untuk kumpul kebo bersama pasangan, yakni beban finansial, prosedur perceraian yang terlalu rumit, hingga penerimaan sosial. Dia menambahkan bahwa dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9 persen di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3 persen berusia kurang dari 30 tahun, 83,7 persen berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6 persen tidak bekerja, dan 53,5 persen lainnya bekerja secara informal.
Penegakan hukum terhadap kohabitasi sudah sepantasnya dilakukan untuk melindungi moral dan karakter bangsa Indonesia. Jika melihat dari perspektif Hukum yaitu KUHP sekarang. KUHP sekarang hanya terbatas pada perbuatan perzinahan yaitu jika salah satu pasangan atau keduanya sudah menikah maka dapat dikatakan melakukan perzinahan. Hal ini dapat dilihat di Pasal 284 KUHP. Jika ada pelaku yang suka sama suka yang tidak ada diantaranya status pernikahan, maka tidak dapat diberikan tindakan hukum kecuali salah satu pihak seorang anak. Namun setelah pemberlakuan KUHP 2023 pada tahun 2026 nanti. Perbuatan kohabitasi (kumpul kebo) yang didasarkan dengan adanya perkawinan salah satu pihak atau keduanya maupun tidak ada adanya status perkawinan di kedua belah pihak dapat ditindak.
Pasal 412 KUHP 2023 mengatur perbuatan kohabitasi beserta hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelanggar hukumnya. Besarnya hukuman perbuatan kohabitasi yaitu pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp.10.000.000,00 (10 juta rupiah). Walaupun Pasal dalam KUHP lama dan KUHP 2023 berbeda tetapi kedua aturan itu mempunyai persamaan. Perzinahan yang diatur dalam KUHP lama penindakannya harus ada pengaduan. Begitu juga dengan perbuatan Kohabitasi dalam Pasal 412 KUHP 2023 juga bersifat delik aduan. Pengaduan Dalam Kohabitasi ini sedikit berbeda dari perzinahan dalam KUHP lama. Perzinahan dalam KUHP lama pengaduan dapat dilakukan oleh suami atau istri pelaku yang merasa dirugikan karena adanya perzinahan sedangkan kohabitasi dalam KUHP 2023 pengaduan dapat dilakukan oleh suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan atau Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Tantangan Penerapan Pasal Kohabitasi
Secara garis besar banyak kritikan terhadap pasal kohabitasi ini. Pada intinya pembentukan aturan kohabitasi dianggap terlalu masuk ke ranah privat individu. Tantangan dalam menentukan batas antara hak individu untuk hidup sesuai pilihannya dan kewajiban Negara untuk melindungi norma masyarakat menimbulkan kesulitan tersendiri untuk melakukan penegakan hukum. penegak hukum harus memastikan adanya bukti kohabitasi, seperti tinggal bersama dalam satu rumah dengan hubungan layaknya suami-istri, yang bisa memunculkan tantangan dalam pengumpulan bukti.
Kedua, adanya kekhawatiran bahwa pasal ini dapat digunakan sebagai alat pemerasan atau intimidasi, baik oleh pihak yang berwenang maupun individu lain. Dalam hal ini sosialisasi yang jelas kepada masyarakat tentang batasan dan mekanisme pasal ini sangatlah penting.
Ketiga, Perbedaan Interpretasi Budaya, Indonesia terdiri dari masyarakat dengan keragaman budaya, agama dan adat istiadat. Tidak semua masyarakat memiliki pandangan yang sama tentang kohabitasi. Di beberapa wilayah atau kelompok masyarakat, kohabitasi dianggap sebagai hal yang wajar atau tidak relevan untuk diatur secara hukum.
Keempat, Bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), pasal ini dianggap oleh beberapa pihak bertentangan dengan prinsip kebebasan individu yang dijamin oleh HAM. Dalam hal ini perlu adanya penyesuaian hukum sesuai konteks lokal, dengan mempertimbangkan aspek budaya dan HAM.