Pemerintah kembali menetapkan standar baru anggaran untuk kebutuhan internal birokrasi. Kali ini melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2026. Salah satu hal yang mencuat dari beleid ini adalah penetapan biaya konsumsi untuk rapat koordinasi (rakor) tingkat menteri, wakil menteri, atau pejabat eselon I sebesar Rp118.000 per orang, dan kudapan sebesar Rp53.000. Jika digabungkan, maka total biaya konsumsi dalam satu rapat mencapai Rp171.000 per orang.
Angka ini menuai polemik karena dinilai tidak sensitif terhadap kondisi sosial masyarakat Indonesia hari ini. Mengapa? Karena pada saat yang sama, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan acuan sekitar Rp20.000 per hari sebagai garis batas pengeluaran konsumsi untuk menentukan siapa yang tergolong miskin. Artinya, biaya konsumsi satu kali rapat menteri setara dengan jatah makan satu orang miskin selama lebih dari delapan hari.
Inilah ironi fiskal yang menyentil akal sehat dan rasa keadilan publik. Di satu sisi, negara merinci angka kemiskinan rakyat dengan ketat dan minimalis. Di sisi lain, negara tampak longgar dan permisif dalam menetapkan angka konsumsi untuk elite-elite birokrasi.
Angka dan Rasa
Kebijakan anggaran negara seharusnya tidak hanya berbicara tentang angka, tetapi juga soal rasa. Rasa keadilan. Rasa empati. Rasa moral yang tumbuh dari semangat konstitusi. Dalam Pasal 23 UUD 1945, dinyatakan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bagaimana kemakmuran itu bisa terwujud jika cara negara menyusun dan membelanjakan anggaran cenderung mencerminkan ketimpangan?
Bila logika anggaran publik mengedepankan prioritas, maka kebijakan PMK ini seakan menunjukkan bahwa prioritas terbesar masih berpusat pada kenyamanan internal birokrasi, bukan pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Apalagi, ini bukan pertama kalinya publik dikejutkan oleh angka-angka konsumsi pejabat yang tampak mewah dibanding realitas rakyat biasa.
Berdasarkan data BPS Maret 2024, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,82 juta jiwa. Dari jumlah itu, sekitar 5,6 juta tergolong miskin ekstrem dengan pengeluaran kurang dari Rp10.000 per hari. Artinya, Rp171.000 untuk satu pejabat dalam satu rapat bisa memberi makan lebih dari 17 orang miskin ekstrem. Sementara satu rapat menteri bisa dihadiri puluhan hingga ratusan pejabat. Bisa dibayangkan, betapa besarnya potensi alokasi tersebut jika digunakan untuk keperluan yang lebih substantif.
Pengeluaran konsumsi dalam birokrasi bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan simbolik. Ia menunjukkan bagaimana negara mendefinisikan “layak” untuk pejabat dan “cukup” untuk rakyat. Ketika rakyat miskin hanya diberi ukuran minimalis dalam setiap bentuk bantuan—baik bantuan pangan, kesehatan, hingga pendidikan—mengapa para pejabat diberi ukuran yang begitu lapang dalam konteks logistik kerja?
Negara seperti sedang membentuk dua dunia. Dunia pertama adalah dunia elite birokrasi, dengan AC, makanan lengkap, honor rapat, dan tunjangan yang tidak sedikit. Dunia kedua adalah dunia rakyat biasa yang harus mengantre untuk mendapatkan bantuan, dicek satu per satu untuk layak tidaknya menerima bansos, dan hidup dalam standar konsumsi yang bahkan tidak cukup untuk membeli satu porsi makan di warung padang.
Dalam kerangka keadilan sosial, ini adalah bentuk ketimpangan struktural yang disahkan lewat regulasi resmi. Ia menjadi sah bukan karena etis, tetapi karena legal. Dan ketika legalitas tidak lagi berpihak pada keadilan, di situlah hukum kehilangan watak moralnya.
Efisiensi yang Selektif
Pemerintah selama ini sering menyerukan efisiensi anggaran. Dalam banyak pidato, presiden dan menteri keuangan menekankan pentingnya efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan APBN. Namun sayangnya, efisiensi itu tampak hanya berlaku untuk program-program rakyat. Anggaran subsidi dipangkas, bantuan sosial dibatasi, insentif untuk sektor informal dipersempit. Tetapi untuk urusan konsumsi rapat pejabat, negara tetap memberi ruang mewah.
Di negara-negara maju seperti Jerman dan Jepang, efisiensi birokrasi benar-benar dijalankan hingga ke soal konsumsi rapat. Para pejabat di sana terbiasa rapat tanpa makanan berat. Hanya minuman dan snack ringan. Karena prinsip mereka jelas: rapat adalah kerja, bukan momen bersantap. Di Indonesia, budaya birokrasi masih lekat dengan konsumsi, bahkan menjadi bagian dari “paket” formalitas yang tak terpisahkan dari kegiatan negara.
Inilah saatnya dilakukan pembalikan paradigma. Negara harus mulai meninjau ulang standar konsumsi internal, tidak hanya untuk menteri, tetapi untuk seluruh struktur birokrasi. Jika perlu, anggaran konsumsi rapat dialihkan menjadi belanja langsung yang memiliki dampak konkret terhadap publik. Rakyat tidak membutuhkan menteri yang kenyang, tetapi keputusan yang berpihak.
Dalam teori keuangan publik, dikenal konsep moral budgeting—yakni penyusunan anggaran berdasarkan asas moralitas publik. Prinsip ini menuntut agar setiap rupiah yang dibelanjakan negara memiliki justifikasi etis, bukan hanya legal. Dalam konteks ini, anggaran konsumsi sebesar Rp171.000 per orang untuk rapat pejabat tinggi tidak dapat dijustifikasi secara moral ketika rakyat masih berjuang mendapatkan makan dua kali sehari.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dikenal sebagai tokoh reformis yang selama ini membawa semangat transparansi dan efisiensi dalam pengelolaan keuangan negara. Namun kebijakan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah semangat reformasi itu masih konsisten, atau telah terseret kompromi politik anggaran dalam pemerintahan baru?
Dalam konteks sosiologis, rakyat Indonesia dikenal sangat toleran terhadap ketimpangan. Toleransi itu bisa berubah menjadi kemarahan ketika ketimpangan itu dipertontonkan secara vulgar oleh negara. Jika negara terus gagal menunjukkan empati dalam menyusun kebijakan anggaran, maka bukan tidak mungkin legitimasi moral negara akan tergerus.
Apa yang harus dilakukan?
Pertama, pemerintah harus meninjau ulang standar biaya konsumsi rapat dalam PMK tersebut. Jika alasan penyesuaian harga menjadi dasar, maka penyesuaian itu harus proporsional dan mempertimbangkan sensitivitas sosial. Tidak semua kenaikan harga harus diikuti dengan kenaikan biaya konsumsi pejabat.
Kedua, pemerintah perlu membuka ruang partisipasi publik dalam menyusun komponen anggaran, termasuk untuk belanja-belanja birokrasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa mendorong mekanisme transparansi atas belanja non-prioritas seperti ini.
Ketiga, DPR RI dan DPD RI sebagai lembaga legislatif harus mulai membahas isu belanja birokrasi dalam rapat-rapat pengawasan, bukan hanya fokus pada proyek dan program. Pengawasan terhadap gaya hidup birokrasi penting agar negara tidak terjebak dalam budaya konsumerisme di tingkat elite.
Indonesia butuh birokrasi yang bukan hanya bersih dan efisien, tetapi juga adil dan empatik. Keadilan bukan hanya perkara hukum, tetapi juga soal alokasi sumber daya. Ketika seorang menteri bisa menikmati kudapan seharga Rp53.000, sementara jutaan rakyat hanya makan nasi tanpa lauk, maka ketimpangan itu bukan lagi soal statistik, tetapi soal nurani.
Negara harus menunjukkan keteladanan, bukan sekadar melalui kebijakan makro, tetapi juga dalam hal-hal mikro seperti konsumsi rapat. Jika tidak, maka narasi “berpihak kepada rakyat” akan terus menjadi jargon kosong yang tidak menyentuh realitas.
Akhirnya, negara yang murah untuk rakyat tetapi mahal untuk pejabat adalah negara yang gagal memahami esensi keadilan. Negara seperti itu bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak beradab.