Menpan RB, Reformasi Setengah Hati, dan Diskriminasi Usia Rekrutmen

Author PhotoDesi Sommaliagustina
31 May 2025
20250516_-_Audiensi_dengan_Menteri_Ketenagakerjaan_2

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) yang menyebut bahwa terdapat formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang dibuka bagi pelamar berusia hingga 40 tahun. Banyak yang menyambut wacana ini sebagai langkah afirmatif dan progresif. Ketika rincian kebijakan diumumkan, justru tampak bahwa hanya tiga kategori jabatan yang diperuntukkan bagi pelamar usia 40 tahun, yakni dokter, dosen, dan peneliti.

Sementara itu, di saat yang hampir bersamaan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menerbitkan Surat Edaran Nomor M/6/HK.04/V/2025 tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja. Surat edaran ini menegaskan bahwa praktik diskriminasi atas dasar usia dalam rekrutmen adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip keadilan kerja. Maka pertanyaan mendesak yang muncul adalah: apakah Kemenpan RB tengah menjalankan kebijakan afirmatif, atau justru melanggengkan diskriminasi terselubung dalam wajah reformasi birokrasi?

Batas Usia dan Dalih Meritokrasi

Kebijakan membuka usia maksimal 40 tahun untuk tiga jabatan tertentu memang terkesan sebagai angin segar. Namun jika kita kritisi dengan kacamata hukum dan keadilan sosial, justru terlihat adanya pelanggengan diskriminasi usia. Apa argumen objektif yang mendasari pembatasan usia untuk jabatan lain di sektor ASN? Bukankah banyak jabatan strategis—seperti analis kebijakan, perencana pembangunan, auditor, pranata hukum, dan penyuluh sosial—yang juga membutuhkan kematangan, pengalaman, dan kompetensi yang justru lebih kuat dimiliki oleh pelamar berusia di atas 35 tahun?

Terdapat kontradiksi inheren antara prinsip meritokrasi yang sering digaungkan dalam reformasi birokrasi dengan praktik eksklusi berdasarkan usia. Jika merit menjadi acuan, maka semestinya pengalaman, keahlian, integritas, dan etos kerja menjadi indikator utama seleksi ASN—bukan usia sebagai batas tunggal yang kaku.

Sayangnya, selama ini kebijakan formasi ASN masih memegang paradigma lama: muda adalah unggul, tua adalah beban. Padahal, negara-negara yang mengadopsi prinsip equal employment opportunity telah menggeser penilaian dari usia ke kualifikasi berbasis kompetensi.

Diskriminasi Usia dan Pelanggaran Konstitusi

Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Konstitusi kita tidak membatasi keadilan hanya pada kelompok usia tertentu. Maka, kebijakan yang secara sistematis mengecualikan pelamar berdasarkan usia tanpa dasar pembenaran rasional yang memadai dapat digolongkan sebagai pelanggaran prinsip konstitusional.

Lebih jauh, Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999. Konvensi ini menyatakan bahwa diskriminasi mencakup setiap pembedaan, pengucilan, atau preferensi yang berdampak menghapus atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan. Usia, sebagaimana jenis kelamin, ras, agama, dan pandangan politik, merupakan salah satu indikator yang dilarang menjadi dasar pembedaan kecuali terdapat pembenaran objektif dan rasional.

Sayangnya, hingga kini Kemenpan RB belum memberikan penjelasan yang komprehensif dan berbasis kajian publik mengapa pembukaan usia 40 tahun dibatasi hanya pada tiga jabatan. Apakah jabatan lainnya tidak boleh diisi oleh individu dengan pengalaman matang? Jika tidak, maka kebijakan ini dapat dikategorikan sebagai diskriminasi administratif yang dibalut dengan narasi meritokrasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indonesia pada 2024 memiliki lebih dari 65% penduduk usia produktif (15–64 tahun). Di antara mereka, jutaan orang berusia 36–45 tahun sedang berada di puncak karier profesional, tetapi tetap tersingkir dari peluang menjadi ASN akibat pembatasan usia yang rigid. Ini menjadi ironi, mengingat kelompok ini justru yang paling siap menghadapi kompleksitas birokrasi modern—berbekal pengalaman, jejaring, dan wawasan yang lebih matang dibanding lulusan muda.

Kondisi ini menciptakan apa yang disebut age ceiling—batas usia yang tidak tertulis tetapi sistematis menghambat mobilitas sosial kelompok usia tertentu. Tidak hanya itu, kebijakan ini dapat mengakibatkan brain waste, yaitu terbuangnya potensi SDM berkualitas hanya karena batas usia administratif.

Jika pemerintah sungguh ingin meningkatkan kualitas ASN, maka perlu menata ulang sistem rekrutmen yang selama ini hanya memprioritaskan kelulusan akademik dan usia muda, tetapi mengabaikan dimensi pengalaman dan integritas moral yang tidak kalah penting.

Antara Harmonisasi dan Fragmentasi Kebijakan

Surat Edaran Kemnaker seharusnya menjadi panduan moral dan hukum bagi semua kementerian, termasuk Kemenpan RB. Sayangnya, terdapat fragmentasi dalam kebijakan antar-kementerian. Satu kementerian bicara tentang perlindungan kerja tanpa diskriminasi, sementara kementerian lain tetap menegakkan kebijakan seleksi yang secara implisit diskriminatif.

Ketiadaan koordinasi kebijakan ini membuktikan lemahnya kepemimpinan lintas sektor dalam membangun ekosistem ketenagakerjaan negara yang adil dan inklusif. Alih-alih membentuk sistem ASN yang reflektif terhadap realitas sosial, justru mempertegas bahwa birokrasi kita masih terjebak dalam logika diskriminatif dan berpikir linier.

Pemerintah seharusnya tidak melihat reformasi birokrasi sebagai soal regenerasi usia semata, tetapi reformasi dalam hal etika kerja, tanggung jawab publik, dan akuntabilitas. ASN yang berkualitas tidak hanya hadir dari generasi muda, melainkan juga dari mereka yang telah melalui dinamika kerja profesional dan memiliki kapasitas manajerial serta kebijaksanaan sosial yang lebih luas.

Sudah saatnya pemerintah melakukan reformulasi total terhadap kebijakan rekrutmen ASN. Kebijakan pembatasan usia harus didasarkan pada kajian sosiologis, ekonomis, dan hukum yang utuh. Jika tidak, kita hanya akan mengganti kulit birokrasi tetapi mempertahankan ketimpangan struktural di dalamnya.

Pembukaan usia 40 tahun untuk tiga jabatan adalah langkah awal, tetapi tidak cukup. Pemerintah harus membuka diskusi publik yang lebih luas mengenai relevansi batas usia, dan menjadikan kompetensi serta integritas sebagai parameter utama. Reformasi birokrasi yang adil adalah reformasi yang membuka kesempatan bagi semua, bukan hanya untuk kelompok usia tertentu atau pembatasan administrasi.

Di tengah tuntutan pelayanan publik yang makin kompleks, justru ASN dari beragam kelompok usia, latar belakang, dan pengalamanlah yang dibutuhkan untuk menghadirkan pelayanan negara yang responsif dan manusiawi. Menpan RB perlu menyadari bahwa inklusi bukan hanya urusan sosial, tetapi juga soal keadilan hukum dan konstitusionalitas kebijakan.

Sikap setengah hati dalam membuka peluang rekrutmen ASN kepada kelompok usia 40 tahun menunjukkan bahwa reformasi birokrasi kita masih belum sepenuhnya berpihak pada prinsip keadilan. Dalam negara hukum, kebijakan yang diskriminatif tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Tidak ada keadilan jika kesempatan tidak dibuka untuk semua. Tidak ada meritokrasi jika usia masih menjadi alat penyaring yang dominan.

Jika negara ingin membangun birokrasi yang kuat dan inklusif, maka prinsip nondiskriminasi harus menjadi jiwa dari setiap kebijakan, bukan sekadar jargon di atas kertas.

Artikel Terkait

Rekomendasi