Menimbang Aspek Hukum dalam Kasus Ujaran Gus Miftah kepada Penjual Es Teh

Author PhotoDesi Sommaliagustina
04 Dec 2024
3-4150767207

“Lebih Mulia Jualan Es Teh dari pada Jualan Agama!”

 

Masyarakat diramaikan oleh kasus kontroversial di mana Gus Miftah, seorang tokoh agama,  melontarkan kata “goblok” kepada seorang penjual es teh. Insiden ini memicu perdebatan publik mengenai etika, moral, dan aspek hukum terkait ujaran tersebut.

Kasus ini menarik untuk dikaji dalam perspektif hukum, khususnya dalam konteks penghinaan, kebebasan berekspresi, dan hubungan antara norma sosial dengan norma hukum di Indonesia.

Penghinaan diatur secara eksplisit dalam KUHP Pasal 310 dan UU ITE Pasal 27 Ayat (3), Pasal 310 KUHP mengatur bahwa penghinaan adalah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menyatakan sesuatu yang dapat merendahkan martabatnya. Sedangkan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE memperluas cakupan penghinaan ke ranah digital, mencakup pernyataan yang dilakukan melalui media sosial atau sarana elektronik.

Dalam kasus Gus Miftah, kata “goblok” yang diucapkannya perlu dianalisis dari dua sisi. Baik itu dari unsur penghinaan maupun konteks ucapan. Jika kata “goblok” diucapkan dalam konteks bercanda atau teguran pribadi tanpa niat buruk, unsur penghinaan bisa dianggap tidak terpenuhi.

Namun, jika disampaikan di depan umum atau melalui media, hal itu berpotensi melibatkan hukum, terutama jika penjual merasa dirugikan. Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 menjamin kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara.  Kebebasan ini tidak mutlak dan dibatasi oleh hak orang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.

Dalam konteks Gus Miftah, kebebasan berpendapat tidak dapat digunakan untuk membenarkan penghinaan atau ujaran yang merendahkan martabat orang lain. Sebagai tokoh agama, Gus Miftah memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga ucapan dan perilakunya.

Tokoh publik sering kali menjadi panutan masyarakat, sehingga ujaran yang dinilai tidak pantas dapat menimbulkan dampak negatif, termasuk memperkeruh citra publik dan memicu konflik sosial. Dalam kasus ini, kata “goblok” dapat dianggap melanggar norma kesopanan, bahkan jika secara hukum tidak memenuhi unsur penghinaan.

Jika pihak yang merasa dirugikan memutuskan untuk melapor, jalur hukum menjadi opsi yang tersedia.  Penyelesaian secara kekeluargaan dapat menjadi alternatif yang lebih bijak, terutama untuk menjaga harmoni sosial. Gus Miftah, sebagai seorang tokoh, juga dapat memberikan klarifikasi atau permintaan maaf secara terbuka untuk meredakan ketegangan publik.

Kasus Gus Miftah ini mencerminkan pentingnya kehati-hatian dalam bertutur kata, terutama bagi tokoh publik. Meskipun hukum memberikan ruang bagi kebebasan berpendapat, batasan etika dan hukum harus tetap diperhatikan. Semoga kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih bijak dalam berkomunikasi, baik di ruang privat maupun publik.

Artikel Terkait

Rekomendasi