Pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam Human Capital Summit 2025 yang menyebut masyarakat—terutama pencari kerja muda—harus introspeksi dan jangan kufur nikmat karena merasa kesulitan mencari pekerjaan, pantas mendapat sorotan kritis. Ketimbang menunjukkan empati dan komitmen pada pembenahan sistemik, ia justru memutarbalikkan beban struktural menjadi masalah moral individu.
“Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa lapangan pekerjaan tidak ada, saya pikir harus kita menjadi introspeksi kolektif. Dan jangan kufur nikmat gitu, tapi bagaimana kita meningkatkan kualitas diri kita untuk melakukan penyesuaian,” ujar Bahlil saat memberikan sambutan di acara Pembukaan Human Capital Summit 2025 di Jakarta International Convention Center, Selasa (3/6/2025).
Pernyataan tersebut tak hanya menunjukkan absennya sensitivitas sosial, tetapi juga menggeser tanggung jawab negara dalam menjamin hak atas pekerjaan yang layak sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Ketika negara justru melempar beban ke pundak rakyat dengan dalih “introspeksi kolektif”, kita patut bertanya: siapa sebenarnya yang perlu bercermin?
Padahal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa problem utama pengangguran bukan semata persoalan kualitas individu, melainkan akumulasi dari ketimpangan struktural, perampasan kesempatan kerja, hingga praktik rangkap jabatan oleh elite—termasuk para menteri dan wakil menteri yang juga menjadi komisaris di badan usaha milik negara (BUMN). Inilah bentuk nyata dari privilege birokratik yang justru berkontribusi pada sempitnya akses kerja yang adil bagi rakyat kebanyakan.
Pengangguran: Data, Rangkap Jabatan vs Narasi Moral
Bahlil, dalam pernyataannya, mengajak publik untuk tidak menyalahkan kondisi ekonomi jika sulit mencari kerja. Sebaliknya, ia menilai perlu ada introspeksi diri dan peningkatan kualitas. Namun, narasi ini menyederhanakan masalah dan mengabaikan realitas ekonomi makro dan tata kelola yang timpang.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka per Februari 2025 mencapai 5,45%. Angka ini menunjukkan bahwa jutaan angkatan kerja tidak mendapatkan pekerjaan yang layak meskipun mereka memiliki ijazah, pengalaman, dan keterampilan. Terlebih, dalam banyak kasus, bahkan lulusan sarjana pun terjebak dalam pekerjaan informal yang tidak sesuai bidang.
Pernyataan Bahlil justru terasa paradoks di tengah kondisi politik birokrasi di mana menteri dan wakil menteri pemerintah saat ini justru merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN. Mereka mengambil ruang-ruang strategis yang seharusnya bisa diisi oleh profesional muda atau ahli sektor privat. Maka, menyuruh rakyat untuk tidak kufur nikmat dan memperbaiki diri terasa sinis jika pejabat negara justru mengakumulasi jabatan tanpa kepekaan pada distribusi keadilan ekonomi. Apakah tidak ada satu pun sumber daya manusia lain di republik ini yang layak diberi mandat tersebut?
Hingga hari ini, publik belum mendapat jawaban tegas dari Presiden maupun Menteri BUMN terkait fenomena rangkap jabatan di tubuh eksekutif. Kritik publik menjadi sahih ketika melihat daftar panjang wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris di berbagai BUMN. Dalam rilis Kompas setidaknya ada 23 wakil menteri yang menjabat rangkap sebagai komisaris BUMN.
Tentunya, pejabat tinggi negara ini bukan hanya merangkap peran strategis di kementerian, tetapi juga menikmati posisi elite dalam perusahaan pelat merah dengan berbagai fasilitas, insentif, dan kekuasaan. Ini bukan hanya tentang efektivitas kerja, tapi menyempitkan peluang profesional lain yang lebih layak dan potensial untuk mengisi jabatan-jabatan tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip good governance dan meritokrasi.
Secara normatif, memang belum ada aturan keras yang secara eksplisit melarang rangkap jabatan menteri-komisaris. Semangat dari UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN secara tegas menekankan pentingnya pemisahan fungsi, pencegahan konflik kepentingan, dan optimalisasi pelayanan publik.
Dalam praktiknya, rangkap jabatan berpotensi menimbulkan moral hazard. Bagaimana seorang menteri bisa fokus membangun kebijakan publik jika ia juga terikat tanggung jawab korporasi di BUMN? Bagaimana seorang wakil menteri bisa adil dalam pengawasan jika ia justru duduk sebagai bagian dari entitas yang diawasinya?
Lebih buruk lagi, praktik ini menciptakan deadlock akses karier bagi profesional muda karena posisi-posisi strategis disumbat oleh aktor-aktor politik yang tak mau berbagi peran. Publik sudah lama muak dengan praktik elitis seperti ini. Bayangkan, bagaimana bisa rakyat percaya pada ajakan “peningkatan kualitas diri”, bila kursi-kursi kekuasaan tak pernah terbuka secara inklusif dan transparan?
Hipokrisi dalam Retorika Pemerintah
Pernyataan Bahlil bukan hanya problematis dari sisi sensitivitas sosial, tetapi juga mencerminkan hipokrisi dalam kebijakan. Pemerintah kerap meminta rakyat bersabar, mengencangkan ikat pinggang, hingga mengoreksi diri. Tapi di sisi lain, elite politik justru menunjukkan kerakusan jabatan, privilese ganda, dan praktik oligarki birokratik yang mencederai rasa keadilan publik.
Adalah bentuk kemunafikan struktural jika rakyat diminta bersyukur atas ketimpangan, sementara elite menikmati fasilitas ganda dari negara. Kritik terhadap pengangguran seharusnya diarahkan ke sistem rekrutmen yang tertutup, minim transparansi, dan birokrasi yang elitis. Bukan dengan menyalahkan korban.
Bayangkan jika posisi-posisi komisaris BUMN itu diberikan kepada profesional independen, akademisi, atau bahkan tokoh muda berbakat di bidang energi, transportasi, atau keuangan. Selain memperluas akses kerja, ini juga akan mendorong akuntabilitas dan profesionalisme dalam pengelolaan BUMN. Namun sayangnya, kursi-kursi empuk itu justru diborong oleh pejabat aktif.
Apakah rangkap jabatan itu melanggar hukum? Dalam konteks yuridis, belum tentu. Namun, dari segi etika publik dan prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih, tentu ini mencederai kepercayaan rakyat. Apalagi jika jabatan rangkap itu dibarengi dengan tunjangan puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan, tanpa korelasi langsung terhadap kinerja BUMN yang diawasi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semestinya juga bisa mengambil peran lebih aktif dalam mendorong transparansi dan audit atas penghasilan tambahan pejabat negara dari jabatan komisaris. UU Tipikor menyebut bahwa gratifikasi dalam bentuk jabatan atau penghasilan tambahan yang memiliki konflik kepentingan patut ditelusuri lebih dalam.
Penting juga agar Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung—dalam kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan—menyikapi urgensi regulasi tegas tentang larangan rangkap jabatan. Indonesia butuh clear demarcation antara jabatan publik dan posisi korporasi yang dikendalikan negara.
Seorang pemimpin, apalagi pejabat negara, harus bisa menunjukkan sensitivitas terhadap keresahan rakyat. Menyuruh masyarakat introspeksi sambil menikmati privilese kekuasaan adalah bentuk keangkuhan struktural yang makin menjauhkan rakyat dari negara. Jika menteri benar-benar ingin rakyat meningkatkan kualitas diri, maka tugas pertama negara adalah menciptakan sistem yang adil dan membuka kesempatan selebar-lebarnya, bukan merebutnya.
Pemerintah Harus Bercermin
Kalau pun rakyat harus introspeksi, barangkali elite pun harus mulai instrospeksi: apakah jabatan publik telah digunakan untuk melayani rakyat atau sekadar memperbanyak privilege? Jangan-jangan, yang kufur nikmat justru bukan rakyat, melainkan mereka yang merangkap jabatan dan menutup ruang kerja generasi muda. Masyarakat bukan kufur nikmat, tapi sudah terlalu sering ditinggalkan. Lapangan kerja bukan sempit karena rakyat malas, tapi karena negara menciptakan sistem yang tertutup dan tidak adil.
Selama kursi kekuasaan didominasi oleh orang yang sama, narasi tentang introspeksi diri tak lebih dari jargon untuk mengelabui publik. Sudah saatnya pejabat berhenti menyalahkan rakyat. Karena pekerjaan tidak datang dari retorika, tapi dari keberpihakan nyata pada keadilan dan pembatasan monopoli elite dalam birokrasi dan ekonomi. Apakah mereka membuka ruang bagi regenerasi dan partisipasi?
Meminta rakyat tidak “kufur nikmat” dalam situasi pengangguran adalah kekeliruan yang tidak etis dan tidak empatik. Rakyat bukan makhluk pasrah yang harus selalu bersyukur dalam keterpurukan. Mereka adalah pemilik sah republik ini. Sudah waktunya pejabat publik berhenti melontarkan narasi moralis dari menara gading kekuasaan, dan mulai bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat—bukan untuk kursi tambahan.
Apakah pantas pejabat publik mengajak rakyat untuk tidak kufur nikmat atas “kesempatan” yang kian sempit, sementara sebagian elite justru menggenggam lebih dari satu kursi kekuasaan? Bagaimana mungkin rakyat diminta meningkatkan kualitas diri, ketika jabatan publik saja dikonsentrasikan pada segelintir nama yang beredar di lingkaran dalam istana?