ASEAN didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 melalui penandatanganan Deklarasi Bangkok di Thailand. Lima negara pendiri ASEAN adalah: Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina. Menyusul berikutnya sebagai anggota ASEAN adalah Brunei Darussalam (1984), Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997), dan Kamboja (1998).
Sejak disahkannya Piagam ASEAN pada tahun 2007, ASEAN telah bertransformasi menjadi organisasi berbasis kawasan yang bekerja di bawah payung hukum bersama. Piagam ASEAN menjadi tolok ukur penting terhadap ambisi ASEAN untuk menjadi organisasi regional yang relevan dengan situasi perkembangan politik, baik di kawasan Asia Tenggara maupun kawasan Asia Pasifik.
Namun, hampir dua dekade sejak diberlakukannya Piagam ASEAN ini tampaknya masih belum mampu menjawab berbagai masalah hukum yang muncul di kawasan. Salah satu kelemahan mendasar Piagam ASEAN adalah penerapan prinsip non-intervensi dan penghormatan terhadap kedaulatan negara anggota. Prinsip ini, meskipun penting untuk menjaga hubungan harmonis antarnegara anggota, sering kali menjadi penghalang dalam penyelesaian masalah hukum yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, sengketa wilayah, atau kasus lintas negara seperti perdagangan manusia dan narkoba.
Meskipun ASEAN memiliki komitmen untuk melindungi hak asasi manusia melalui ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), lembaga ini tidak memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum atau memberikan sanksi. Akibatnya, pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di negara-negara anggota seperti Myanmar dan Kamboja tidak dapat ditangani secara efektif di tingkat regional.
Piagam ASEAN juga kurang memberikan mekanisme penyelesaian sengketa yang kuat dan mengikat. Pasal 22 hingga 25 Piagam ASEAN hanya mengatur prosedur penyelesaian sengketa secara damai melalui konsultasi dan negosiasi. Tidak ada kewajiban bagi negara anggota untuk mematuhi hasil negosiasi tersebut, sehingga prosesnya sering kali menjadi simbolis tanpa hasil konkret.
Sebagai contoh, sengketa Laut China Selatan yang melibatkan beberapa negara anggota ASEAN seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia, hingga kini belum menemukan solusi yang efektif. ASEAN sebagai organisasi hanya mampu mengeluarkan pernyataan normatif tanpa langkah hukum yang konkret, sementara konflik tersebut terus memanas. Piagam ASEAN juga tidak memiliki mekanisme untuk memberikan sanksi kepada negara anggota yang melanggar komitmennya. Hal ini terlihat jelas dalam krisis Myanmar setelah kudeta militer pada 2021.
Meskipun ASEAN telah berupaya melalui Konsensus Lima Poin, pelaksanaannya hampir tidak ada, karena ASEAN tidak memiliki wewenang untuk memaksa Myanmar mematuhi kesepakatan tersebut. Ketidakhadiran sistem sanksi ini mencerminkan kelemahan institusional ASEAN dalam menegakkan aturan hukum di kawasan. Hal ini juga melemahkan legitimasi dan efektivitas ASEAN sebagai organisasi regional yang seharusnya mampu menjadi mediator dalam konflik hukum.
Untuk meningkatkan kemampuan ASEAN dalam menyelesaikan masalah hukum di kawasan, beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh negara di ASEAN; Pertama, penguatan AICHR, hal ini bisa dilakukan dengan emberikan mandat yang lebih kuat kepada AICHR, termasuk kewenangan investigasi dan pemberian rekomendasi yang mengikat. Kedua, pembentukan pengadilan regional ASEAN. Sudah saatnya ASEAN perlu membentuk pengadilan regional yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa antarnegara anggota, khususnya yang melibatkan isu lintas negara.
Ketiga, penerapan sanksi yang tegas. ASEAN perlu mengembangkan mekanisme sanksi bagi negara anggota yang melanggar Piagam atau perjanjian ASEAN lainnya. Keempat, perlunya dilakukan reformasi terkait prinsip non-intervensi. ASEAN perlu mengkaji ulang prinsip non-intervensi, khususnya untuk kasus yang melibatkan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia atau ancaman terhadap stabilitas kawasan.
Piagam ASEAN telah memberikan kerangka kerja yang solid bagi integrasi kawasan, tetapi belum cukup efektif dalam menyelesaikan berbagai masalah hukum yang kompleks di Asia Tenggara. Reformasi mendasar diperlukan untuk menjadikan ASEAN lebih tangguh dalam menghadapi tantangan hukum lintas negara, tanpa mengorbankan stabilitas politik dan hubungan antarnegara anggota. Hanya dengan demikian, ASEAN dapat berkembang menjadi komunitas yang benar-benar berbasis aturan hukum dan keadilan.