Kontroversi “Trading in Influence” Pasca Kepresidenan Jokowi

Author PhotoSelvia Anggraini, S.H
15 Mar 2025
IMG_6612

Setelah lengser dari kursi presiden, Joko Widodo (Jokowi) menghadapi tantangan baru yang tidak terduga. Istilah “trading in influence” atau memperdagangkan pengaruh menjadi sorotan, di mana mantan presiden ini tidak lagi mendapatkan penghormatan dan pengakuan yang biasa diterimanya saat menjabat. Dalam diskusi yang berlangsung, beberapa pihak mempertanyakan apakah ada mobilisasi massa untuk mendukung Jokowi pasca kepresidenan, dengan mengacu pada kunjungan rutin wisatawan ke rumahnya di Solo.

Salah satu pembicara menegaskan bahwa mobilisasi tersebut tidak dapat dianggap sebagai tindakan yang terorganisir, melainkan lebih kepada ketertarikan masyarakat terhadap rekam jejak Jokowi selama sepuluh tahun masa jabatannya. Namun, ada juga yang skeptis, menilai bahwa mobilisasi tersebut berpotensi menjadi alat politik untuk kepentingan tertentu.

Diskusi berlanjut dengan menyoroti isu korupsi yang melibatkan Pertamina dan kasus Jiwasraya, yang dianggap mencoreng reputasi pemerintahan Jokowi. Beberapa peserta menilai bahwa kekuasaan yang semakin besar justru membawa dampak negatif, termasuk meningkatnya kasus korupsi yang melibatkan angka fantastis.

Dalam konteks politik, munculnya partai baru yang disebut “Partai Super Tbk” juga menjadi bahan perdebatan. Beberapa pihak berpendapat bahwa pembentukan partai ini merupakan upaya untuk merusak ekosistem politik yang sudah ada, sementara yang lain melihatnya sebagai peluang untuk membawa perubahan positif dalam politik Indonesia.

Sementara itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berkomitmen untuk menjadi contoh partai politik yang transparan dan terbuka. Mereka berencana menerapkan sistem pemilihan yang modern dan inklusif, dengan harapan dapat menarik minat masyarakat yang merasa skeptis terhadap politik saat ini.

Diskusi ini mencerminkan dinamika politik Indonesia pasca kepresidenan Jokowi, di mana berbagai pandangan dan opini saling bertentangan. Apakah “trading in influence” akan menjadi fenomena yang terus berkembang, ataukah akan ada perubahan signifikan dalam cara politik dijalankan di Indonesia? Hanya waktu yang akan menjawab.

Artikel Terkait

Rekomendasi