Kasus Eks Kapolres Ngada: Tantangan Penegakan Hukum dan Kepercayaan Publik terhadap Polri

Author PhotoDesi Sommaliagustina
13 Mar 2025
4d1c40f3-5d04-4b94-894f-7cb8868ae115

Pada tahun 2025, terdapat beberapa kasus yang melibatkan anggota kepolisian di Indonesia. Dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo, tercatat 136 kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota polisi. Baru-baru baru ini kembali terjadi. Kali ini kasus kekerasan yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, yang diduga melecehkan anak di bawah umur dan terbukti positif narkoba.

Kasus ini tentunya menambah daftar panjang pelanggaran berat yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kasus ini bukan hanya mencoreng institusi kepolisian. Pertanyaan penting terkait persoalan ini; Bangaimana komitmen Polri dalam menegakkan supremasi hukum dan etika profesi?

Terkait kasus yang dilakukan oleh Fajar, Jika kita merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, mantan Kapolres Ngada berpotensi dijerat dengan beberapa pasal pidana, yaitu: Pertama, pelanggaran narkotika. Berdasarkan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, seseorang yang terbukti menggunakan narkotika golongan I dapat dipidana dengan penjara paling lama 4 tahun.

Jika terbukti memiliki, menguasai, atau mengedarkan narkotika, maka ancaman pidananya lebih berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 112 dan Pasal 114 UU Narkotika, yang dapat dikenakan hukuman hingga 20 tahun penjara.

Kedua, pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Berdasarkan Pasal 76E jo. Pasal 82 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, setiap orang yang melakukan kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dapat dipidana dengan hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda maksimal Rp.5 miliar. Jika terdapat unsur pemaksaan atau ancaman kekerasan, hukuman bisa diperberat.

Sebagai anggota kepolisian, Fajar juga melanggar Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri, yang menegaskan bahwa anggota Polri harus menjunjung tinggi moralitas, profesionalisme, dan integritas dalam bertugas.

Perbuatan Fajar jelas mencederai etika kepolisian dan berpotensi berujung pada Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH). Propam Polri perlu memastikan bahwa proses etik ini berjalan secara transparan, sehingga publik bisa melihat bahwa Polri serius dalam membersihkan institusinya dari oknum bermasalah.

Implikasi Kepercayaan Publik
Implikasi terhadap kepercayaan publik terkait kasus ini tentunya memperburuk citra kepolisian di mata masyarakat. Sebagai aparat penegak hukum, anggota Polri seharusnya menjadi teladan, bukan malah terlibat dalam tindak pidana yang seharusnya mereka berantas.

Untuk mengembalikan kepercayaan publik, Polri harus menunjukkan ketegasan dalam menindak kasus ini, baik dalam proses hukum pidana maupun etik. Jika kasus ini ditangani secara setengah hati, maka akan muncul kesan bahwa Polri melindungi anggotanya sendiri, yang pada akhirnya hanya akan memperburuk krisis kepercayaan terhadap institusi kepolisian.

Tentunya pemerintah harus bertanggung jawab dalam perlindungan anak. Melihat kasus yang terjadi saat ini, menunjukkan bahwa perlindungan anak di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Negara harus hadir dengan memastikan bahwa kejahatan terhadap anak tidak ditoleransi dalam bentuk apa pun.

Pemerintah dan aparat penegak hukum perlu lebih serius dalam mengawal implementasi UU Perlindungan Anak serta memberikan sanksi berat bagi pelaku, terutama jika pelaku adalah aparat negara yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.

Kasus AKBP Fajar Widyadharma Lukman harus menjadi tamparan keras bagi Polri ditengah kasus yang lainnya. Sudah seharusnya Polri untuk membuktikan komitmen dalam menegakkan hukum secara transparan dan berkeadilan. Proses hukum terhadap Fajar tidak boleh berhenti di tingkat internal Polri saja, tetapi harus berlanjut hingga proses peradilan pidana. Termasuk kasus-kasus lainnya yang melibatkan institusi polri.

Sedangkan untuk masyarakat harus terus mengawal kasus ini agar tidak ada celah bagi pelaku untuk lolos dari pertanggungjawaban hukum. Penegakan hukum yang adil dan transparan adalah kunci dalam memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Jika kepolisian tidak mampu memberikan rasa nyaman dan kepastian hukum untuk masyarakat, sudah saatnya dilakukan reformasi pada institusi polri dan atau wacana kembali penyatuan TNI/Polri adalah solusi yang terbaik ditengah kasus yang akhir-akhir ini melanda mereka.

Artikel Terkait

Rekomendasi