Presiden Prabowo Subianto resmi meneken Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes), tertanggal 27 Maret 2025. Program yang menargetkan pembentukan 70.000-80.000 koperasi di seluruh desa dan kelurahan ini mengusung optimisme besar: membasmi tengkulak, memperkuat kedaulatan ekonomi desa, dan menciptakan 2 juta lapangan kerja.
Menteri Koperasi dan UKM Budi Arie Setiadi menyebut Kopdes Merah Putih sebagai wajah baru kebangkitan ekonomi desa. Dashboard nasional pun telah diluncurkan sebagai pusat data dan layanan pendaftaran koperasi secara digital: [https://kopdesmerahputih.kop.id](https://kopdesmerahputih.kop.id). Di balik narasi optimisme tersebut, kita perlu mengkaji secara kritis kesiapan struktural, tata kelola hukum, dan kapasitas masyarakat desa dalam menyerap kebijakan berskala nasional yang sangat ambisius ini.
Secara historis, koperasi merupakan bentuk usaha kolektif yang seharusnya lahir dari kebutuhan dan inisiatif masyarakat, bukan dari perintah negara. Dalam hal ini, ada ironi ketika koperasi—yang secara filosofis bertumpu pada partisipasi sukarela dan demokratis—justru dijadikan objek top-down dari Inpres.
Apakah 70.000-80.000 koperasi bisa terbentuk hanya karena adanya perintah administratif dari pusat? Jika demikian, koperasi-koperasi ini berisiko menjadi entitas formalitas tanpa fondasi sosial yang kuat. Kita tidak ingin mengulang sejarah koperasi zaman Orde Baru yang lahir dari instruksi, tetapi mati karena minimnya partisipasi dan transparansi.
Tak bisa dimungkiri, program ini memiliki tujuan yang strategis. Tengkulak selama ini menjadi simbol kegagalan struktur pasar dalam melindungi petani dan pelaku ekonomi desa. Hadirnya koperasi yang terhubung langsung ke pasar digital dan fasilitas distribusi nasional dapat memotong rantai pasok yang timpang dan meningkatkan nilai tambah produk desa.
Namun, koperasi tidak cukup hanya dibentuk. Ia harus hidup. Harus ada pelatihan, transfer pengetahuan, pendampingan hukum, serta integrasi dengan ekosistem keuangan dan teknologi digital secara masif. Dalam hal ini, Kementerian Koperasi harus bersinergi dengan Kemendesa, Kementerian Kominfo, bahkan lembaga pendidikan tinggi untuk menciptakan kerangka kerja lintas sektor yang kuat.
Risiko Hukum dan Tata Kelola
Instruksi Presiden tentu bukan produk hukum yang menciptakan hak dan kewajiban bagi warga secara langsung, tetapi menjadi dasar komando antar-kementerian. Permasalahannya, pembentukan 70.000-80.000 koperasi membutuhkan kepastian hukum di tingkat operasional: status badan hukum koperasi, model kelembagaan, mekanisme pembiayaan, akuntabilitas publik, hingga perlindungan hukum bagi anggotanya.
Sementara itu, dashboard nasional Kopdes masih perlu dikaji dari sisi perlindungan data pribadi. Bagaimana mekanisme verifikasi koperasi? Apakah data para pengurus dan anggota koperasi akan dilindungi sesuai UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi? Jangan sampai koperasi desa dijadikan alat pemanfaatan data tanpa kontrol.
Kita juga harus mewaspadai risiko pembentukan koperasi sebagai formalitas politik dan alat penyerapan anggaran. Proses registrasi, akuntabilitas penggunaan dana negara, serta audit publik menjadi isu krusial. Kepercayaan terhadap program ini akan runtuh jika Kopdes hanya menjadi “koperasi papan nama” yang hidup di atas kertas, tapi mati secara ekonomi.
Pemerintah perlu menerbitkan peta jalan (roadmap) pembentukan Kopdes yang realistis, lengkap dengan indikator capaian, mekanisme evaluasi, dan sanksi administratif bagi lembaga yang gagal melaksanakan fungsinya. Satgas Kopdes juga perlu memiliki kewenangan yang jelas, struktur operasional yang terdesentralisasi, serta sistem pelaporan publik yang terbuka.
Lebih dari itu, harus ada transparansi dalam seleksi koperasi yang berhak mendapatkan intervensi negara. Apakah akan ada klasterisasi koperasi pertanian, perikanan, jasa, atau kerajinan? Apakah koperasi yang sudah ada bisa berubah menjadi Kopdes Merah Putih? Ini semua membutuhkan kejelasan hukum, bukan hanya semangat politik.
Kritik tak terelakkan muncul ketika kita menyadari bahwa desa sebenarnya telah memiliki entitas ekonomi legal, yaitu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Diberikan mandat sejak UU No. 6 Tahun 2014 dan diperkuat melalui PP No. 11 Tahun 2021, BUMDes merupakan badan hukum berbasis komunitas yang didesain sebagai mesin penggerak ekonomi desa.
Mengapa tidak memperkuat BUMDes yang sudah ada? Mengapa harus membentuk entitas baru yang berpotensi tumpang tindih secara fungsi, struktur, dan anggaran?
Kopdes Merah Putih, jika tidak disinergikan dengan BUMDes, justru akan memecah fokus pembangunan desa. Ini adalah contoh nyata dari efisiensi yang gagal paham—ketika negara menciptakan lembaga baru di atas lembaga yang belum diberdayakan optimal, hanya untuk kepentingan politik simbolik atau branding birokrasi.
Bukankah lebih strategis jika pemerintah melakukan pemetaan nasional terhadap BUMDes aktif, memperkuat regulasinya, mengintegrasikan prinsip koperasi dalam pengelolaannya, serta menyederhanakan akses digital dan pembiayaan melalui satu kanal sistem? Dengan begitu, negara tak perlu repot membuat nama baru, tetapi cukup menyempurnakan bangunan yang sudah berdiri.
Kopdes Merah Putih adalah cita-cita besar: membangun ekonomi rakyat dari bawah, memutus ketergantungan pada tengkulak, dan membuka peluang kerja bagi jutaan penduduk desa. Tanpa pendekatan partisipatif, tata kelola hukum yang matang, serta penyelarasan dengan BUMDes yang sudah ada, program ini justru berisiko menjadi proyek birokrasi yang tumpang tindih dan mubazir.
Negara harus berhenti membangun struktur baru hanya demi pencitraan. Kebijakan ekonomi desa harus menyatu, bukan bertabrakan. Dan pembangunan partisipatif hanya mungkin lahir jika negara tidak memaksakan skema yang tak dikenal oleh akar rumput.
Jika ingin koperasi tumbuh sebagai tulang punggung ekonomi rakyat, maka ia harus berakar dari bawah, tumbuh dengan akar kepercayaan, bukan sekadar ditanam dari atas dengan benih administratif.
Desi Sommaliagustina












