Indonesia : Tarif Donald Trump, Boneka Ekonomi di Tengah Perang

Donald Trump- Presiden Terpilih Amerika Serikat
Donald Trump- Presiden Terpilih Amerika Serikat

Ketakutan adalah bentuk ketidaksiapan. Namun, kesiapan adalah bentuk kedaulatan. Dan Indonesia hari ini, tak boleh lagi gentar menghadapi dunia.

Retorika dagang ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Donald Trump seiring pencalonannya dalam Pilpres AS 2024. Dalam berbagai kesempatan kampanye, Trump menyuarakan rencana tarif agresif: menerapkan tarif universal sebesar 10% terhadap semua produk impor dan tarif setinggi 60% terhadap produk asal Tiongkok.

Respons pasar global langsung menunjukkan kegelisahan. Indonesia tak seharusnya turut panik. Yang diperlukan bukan rasa takut, tetapi kesiapan dan strategi yang tajam dalam menghadapi kebijakan proteksionis ekstrem tersebut.

Pada masa kepresidenan sebelumnya, Trump juga sudah dulu menerapkan tarif terhadap baja, aluminium, dan berbagai barang asal Tiongkok. Tujuannya, kata Trump, adalah untuk “mengembalikan pekerjaan ke Amerika” dan “melindungi industri dalam negeri”. Namun, sejumlah studi menunjukkan hasil yang bertolak belakang.

Studi oleh National Bureau of Economic Research (2021) menyebutkan bahwa tarif Trump tidak memperkuat sektor manufaktur AS secara signifikan. Sebaliknya, kebijakan tersebut malah meningkatkan harga bagi konsumen AS dan menciptakan ketidakpastian di pasar global. Ekonom Paul Krugman bahkan menyebutnya sebagai “kebijakan yang menembak kaki sendiri”.

Dalam konteks global, World Trade Organization (WTO) mencatat bahwa kebijakan tarif Trump memicu gelombang trade diversion alih perdagangan dari Tiongkok ke negara-negara ketiga, termasuk Vietnam, Meksiko, dan Indonesia. Data BPS menunjukkan ekspor Indonesia ke AS sempat naik pada 2019–2020 untuk komoditas tekstil dan alas kaki, saat produk sejenis dari Tiongkok dikenakan tarif tinggi.

Indonesia: Penerima Manfaat atau Boneka Ekonomi?

Indonesia sejauh ini bukan target utama perang dagang Trump. Nilai ekspor Indonesia ke AS pada 2023 tercatat sekitar USD 24,6 miliar, sementara impor dari AS mencapai USD 20,5 miliar. Defisit perdagangan Indonesia tidak signifikan dalam skala global bagi AS. Oleh karena itu, kecil kemungkinan Indonesia akan menjadi sasaran tarif langsung, kecuali Trump menerapkan kebijakan sapu jagat.

Namun, bila hal itu terjadi, Indonesia tidak berada dalam posisi lemah. Sebagai anggota aktif WTO dan berbagai skema perdagangan internasional seperti GSP, IPEF, hingga RCEP, Indonesia memiliki jalur hukum dan diplomasi untuk menghadapi kebijakan diskriminatif. WTO secara tegas melarang penerapan tarif sepihak yang bertentangan dengan prinsip most favored nation dan national treatment. Indonesia bahkan dapat menggugat AS di forum multilateral jika merasa dirugikan.

Sebagaimana ditegaskan Prof. Deborah Elms dari Asian Trade Centre: “Trump’s tariffs may disrupt global flows, but they also open up new trade routes and realign supply chains. Countries that prepare will benefit.” Indonesia seharusnya berada di kelompok negara yang siap.

Menurut saya, Indonesia justru perlu menjadikan ini momentum untuk mempercepat diversifikasi pasar ekspor. Terlalu bergantung pada pasar negara maju seperti AS menjadikan ekonomi Indonesia rawan tekanan eksternal. Oleh karena itu, Indonesia jangan mau jadi penonton ditengah perang ataupun menjadi boneka ekonomi.

Indonesia harus keluar dari tekanan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara melakukan perluasan akses ke pasar Afrika, Asia Selatan, Timur Tengah, dan kawasan Pasifik harus digenjot lewat skema perjanjian dagang dan kerja sama ekonomi bilateral. Sektor industri dalam negeri juga perlu dibentengi dengan kebijakan insentif, peningkatan teknologi produksi, dan penguatan sistem logistik. Pemerintah perlu mendorong kebijakan substitusi impor yang rasional dan mendorong hilirisasi industri berbasis SDA yang bernilai tambah.

Di tengah ketidakpastian global, diplomasi ekonomi Indonesia menjadi tulang punggung. Indonesia harus memanfaatkan keanggotaannya dalam G20, WTO, dan ASEAN untuk membangun koalisi negara-negara berkembang yang menolak praktik proteksionisme sepihak. Untuk itu sebenarnya Indonesia juga bisa mendorong pembentukan forum khusus ASEAN–AS untuk membahas dampak kebijakan dagang AS terhadap Asia Tenggara. Pendekatan kolektif akan memberi daya tawar lebih besar dibanding langkah unilateral.

Lebih jauh, Indonesia perlu mengoptimalkan posisi tawarnya dalam perundingan IPEF agar AS tidak menutup pasar secara sepihak. Dalam dunia yang semakin multipolar, kekuatan ekonomi global tidak lagi didominasi satu negara. Ketergantungan pada pasar AS bisa diimbangi dengan relasi dagang yang lebih luas dan dinamis.

Tarif Trump bukan ancaman yang harus ditanggapi dengan kepanikan. Indonesia punya pengalaman, perangkat hukum, dan kekuatan ekonomi yang cukup untuk menghadapi tantangan semacam ini. Ketimbang takut, yang dibutuhkan adalah respons yang jernih, strategi yang terukur, dan penguatan posisi dalam peta perdagangan global.

Jangan mau jadi penonton ditengah perang, apalagi menjadi boneka ekonomi. Sudah saatnya Indonesia ikut mengambil posisi terdepan. Kalau tidak sekarang kapan lagi?

Artikel Terkait

Rekomendasi