Indonesia Gelap: Jeritan Akademisi Hukum atas Padamnya Nurani Demokrasi

Author PhotoDesi Sommaliagustina
08 Apr 2025
https://literasihukum.com/pembaruan-hukum-di-indonesia/

Presiden Prabowo Subianto mengaku ingin bertemu dan berdialog dengan tokoh-tokoh yang menyuarakan “Indonesia Gelap”. Prabowo ingin membahas masalah bangsa dan negara bersama tokoh-tokoh itu.

“Saya juga mau dialog, saya mau ketemulah, mari kita bahas, mungkin tidak usah di publik, ya tokoh-tokoh yang Indonesia Gelap,” kata Prabowo dikutip dari tayangan YouTube Harian Kompas, Selasa (8/4/2025).

Pada kesempatan tersebut, Prabowo ingin bertanya langsung kepada tokoh-tokoh itu apa maksud dari Indonesia Gelap. Jika memang ada kegelapan, ia bakal mengajak tokoh-tokoh itu agar menjadikan Indonesia tidak gelap lagi.

“Indonesia gelap, maksudnya, oke kalau memang Indonesia gelap, mari kita kerja supaya Indonesia tidak gelap. Ya kan. Kok Indonesia gelap. Kabur saja dulu deh. Ya kan,” urai Kepala Negara

“Indonesia gelap”, demikian simpulan getir yang terucap dari sejumlah akademisi hukum dalam pernyataan publik yang sering terucap akhir-akhir ini. Pernyataan itu bukan sekadar metafora muram, melainkan refleksi atas kondisi negara hukum yang makin jauh dari cita-cita konstitusi.

Gelap bukan berarti tanpa cahaya, melainkan cahaya yang tersisa terus dipadamkan oleh kekuasaan yang alergi terhadap kritik, oleh legislasi yang diburu waktu dan tanpa partisipasi, serta oleh ketakutan yang kini menyelimuti ruang-ruang akademik.

Dalam negara hukum (rechtstaat), supremasi konstitusi menjadi fondasi utama. Tetapi dalam praktik kekuasaan hari ini, hukum dijadikan alat untuk membenarkan segala hal, termasuk pelanggaran prinsip moral dan etika demokrasi. Kekuasaan tidak lagi dikawal oleh hukum, melainkan justru mengendalikan arah hukum sesuai dengan kepentingan politik jangka pendek.

Gelombang revisi undang-undang secara instan dalam beberapa tahun terakhir menggambarkan tren legislasi yang tidak sehat. Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, misalnya, yang memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi tertentu, tidak hanya mempertanyakan independensi lembaga yudikatif, tapi juga membuka preseden berbahaya bagi rekayasa hukum di masa depan.

Demikian pula revisi Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) yang disahkan dengan sangat cepat, tanpa kajian akademik yang memadai dan tanpa mendengar suara masyarakat terdampak. Prosedur legislasi yang seharusnya mencerminkan deliberasi publik justru berubah menjadi ajang formalitas politik cepat, senyap, dan tertutup.

Tendensi ini makin menguat ketika revisi Undang-Undang TNI diajukan dengan pasal-pasal kontroversial yang justru berpotensi mengembalikan militer ke ranah sipil. Lagi dan lagi revisi ini lolos tanpa pengawasan ketat, tanpa adanya partisipasi publik. Inilah yang terjadi? Kemunduran serius terhadap prinsip civilian supremacy yang telah diperjuangkan sejak era reformasi.

Kritik Dibalas Ancaman

Ketika para akademisi hukum menyampaikan kritik terhadap kondisi ini, reaksi balik negara justru berupa delegitimasi. Kritik dianggap sebagai politisasi kampus. Beberapa akademisi bahkan mendapat tekanan baik secara langsung maupun melalui serangan digital dan kampanye hitam. Di sejumlah kasus, laporan pidana dilayangkan untuk membungkam suara-suara kritis.

Ini menunjukkan bahwa ruang kebebasan akademik di Indonesia makin menyempit. Padahal, kebebasan akademik merupakan prasyarat mutlak dalam demokrasi konstitusional. Dalam konteks hukum, kebebasan itu bukan hanya penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai penyangga kebijakan negara agar tetap sejalan dengan prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia.

Konstitusi seharusnya menjadi rujukan utama dalam setiap kebijakan publik. Namun dalam praktik, nilai-nilai konstitusi hanya dijadikan simbol, bukan substansi. Ketika Mahkamah Konstitusi justru menjadi bagian dari perpanjangan kekuasaan politik, dan ketika proses legislasi tak lagi melibatkan rakyat sebagai subjek hukum, maka konstitusi telah disingkirkan secara perlahan namun pasti.

Dalam laporan Freedom House (2024), skor kebebasan sipil Indonesia mengalami penurunan. Amnesty International dalam Annual Report 2023/24 juga mencatat peningkatan pembungkaman terhadap aktivis dan akademisi. Ini menandakan bahwa problem ini bukan ilusi, melainkan fakta empirik yang diakui dunia internasional.

Apa yang dapat dilakukan? Menurut saya yang bisa dilakukan; Pertama, negara harus menyadari bahwa kritik adalah bagian dari cinta. Jeritan Indonesia gelap tidak lahir dari kebencian terhadap negara, tetapi dari kepedulian atas arah bangsa. Pemerintah perlu membuka ruang dialog dengan para akademisi, bukan memata-matai atau mengintimidasi mereka.

Kedua, mekanisme legislasi harus dikembalikan kepada jalur konstitusional yang benar. Undang-undang bukan produk elite politik semata, tetapi hasil kompromi antara negara dan masyarakat sipil. Pelibatan publik yang bermakna—bukan sekadar formalitas harus menjadi standar minimum.

Ketiga, perlindungan terhadap kebebasan akademik perlu ditegaskan ulang dalam kebijakan dan tindakan. Perguruan tinggi harus menjadi tempat aman untuk berpikir bebas, bukan ladang sensor dan intimidasi.

Keempat, lembaga-lembaga penegak hukum dan pengawas seperti Komnas HAM, Ombudsman, dan Mahkamah Konstitusi, harus menjaga independensinya dan tidak larut dalam pusaran kekuasaan.

Indonesia masih memiliki harapan, selama kampus-kampus masih berani menyuarakan kebenaran. Para akademisi hukum yang bersuara hari ini sedang mengambil risiko besar bukan untuk kepentingan pribadi, tapi demi tegaknya hukum yang adil dan demokrasi yang sehat.

“Indonesia gelap” bukan kutukan, tapi ajakan untuk menyalakan kembali terang itu. Sebab jika kampus telah padam, dan hukum telah bisu, maka gelap itu bukan lagi metafora, melainkan kenyataan. Istana telah merespon hal ini. Dengan wacana akan mengumpulkan para akademisi, aktivis atau orang-orang yang lantang menyuarakan Indonesia gelap. Kalau ini benar terjadi, sangat menarik untuk kita tunggu. Asal jangan dilakukan secara tertutup, tentunya. Semoga!

Artikel Terkait

Rekomendasi