“Fiat justitia ruat caelum” — biarlah keadilan ditegakkan meskipun langit runtuh. Namun, adagium agung ini seolah kehilangan gaungnya dalam lanskap hukum Indonesia hari-hari ini. Fenomena terbaru menunjukkan hukum kita sedang mengalami krisis multidimensi: kehilangan independensi, dipolitisasi oleh kekuasaan, dan digerogoti oleh pragmatisme penegak hukum.
Pemberitaan tentang putusan pengadilan yang sarat kontroversi, penahanan yang terkesan tebang pilih, hingga praktik penyidikan yang cacat prosedur mencuat hampir setiap pekan. Di sisi lain, para pemilik kuasa dan modal tampak mudah lolos dari jerat hukum, sementara rakyat kecil digiring ke balik jeruji dengan cepat dan tanpa pembelaan memadai. Apakah hukum kini benar-benar telah kehilangan keadilannya?
Kasus terbaru yang menyita perhatian publik adalah vonis terhadap Thomas Lembong, mantan pejabat publik yang dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara dalam perkara dugaan korupsi impor gula. Padahal, banyak pakar hukum pidana menilai tidak terpenuhinya unsur mens rea (niat jahat) dalam kasus tersebut. Bahkan Mahfud MD, mantan Menkopolhukam sekaligus akademisi hukum, menyatakan bahwa tak ada alasan pemidanaan karena unsur kesalahan tidak terbukti.
Fenomena ini menyentuh aspek paling mendasar dalam hukum pidana: tidak ada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Jika prinsip fundamental ini mulai diabaikan, maka tidak mustahil bahwa hukum berubah menjadi alat politik dan bukan mekanisme pencari keadilan. Ironisnya, pada saat yang sama, banyak kasus besar yang menyentuh penguasa atau oligarki justru tidak tersentuh aparat. Penyelidikan berhenti di tengah jalan, atau hanya menyasar aktor pinggiran, bukan pemilik kuasa utama. Hukum, yang seharusnya menjadi panglima, justru tunduk kepada kekuatan politik dan ekonomi.
Fenomena lain yang menjadi sorotan adalah lemahnya independensi lembaga-lembaga penegak hukum. KPK, misalnya, pasca-revisi UU No. 19/2019, tak lagi seagresif dulu. Banyak kalangan menilai bahwa keberaniannya telah dikebiri oleh kepentingan politik. Penangkapan sporadis tak menutup lubang kepercayaan masyarakat terhadap komitmen lembaga antirasuah itu.
Demikian pula Mahkamah Konstitusi yang baru-baru ini disorot tajam pasca putusan judicial review terkait usia capres-cawapres, yang disinyalir sarat kepentingan kekuasaan. Bagaimana mungkin lembaga penjaga konstitusi justru terjebak dalam konflik kepentingan yang mencederai netralitasnya? Ketika pilar-pilar penegakan hukum mulai retak karena tekanan politik dan ekonomi, maka konsekuensi yang muncul bukan hanya ketidakadilan, tapi juga delegitimasi hukum itu sendiri di mata publik.
Surat Edaran dan Legislasi Ugal-ugalan, Ke mana Arah Negara Hukum?
Fenomena hukum hari ini juga ditandai dengan maraknya penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat eksekutif melalui produk hukum setingkat surat edaran (SE). Di beberapa daerah, SE kepala daerah bahkan dijadikan dasar untuk memaksa atau melarang hal-hal yang seharusnya diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hierarki norma menurut UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kerap diabaikan, menimbulkan kekacauan hukum di tingkat daerah.
Tak hanya itu, proses legislasi pun banyak yang dilakukan secara tergesa dan minim partisipasi publik. RUU yang menyangkut hajat hidup rakyat dibahas secara kilat, sementara aspirasi masyarakat sipil diabaikan. Proses legislasi yang tidak demokratis adalah pintu masuk bagi produk hukum yang cacat sejak lahir.
Pertanyaan yang patut kita renungkan bersama: apakah kita masih berada dalam negara hukum (rechtstaat), atau telah tergelincir menjadi negara kekuasaan (machtstaat)? Negara hukum mensyaratkan adanya supremasi hukum, perlindungan HAM, pembatasan kekuasaan, dan peradilan yang independen. Namun dalam praktik hari ini, justru kekuasaan yang menjadi raja, dan hukum menjadi pelayan setia.
Konsekuensinya sangat serius: hukum kehilangan kepercayaan publik. Jika warga tak lagi percaya kepada pengadilan, kepada penyidik, kepada jaksa, maka yang muncul adalah vigilante justice, anarkisme, dan kekacauan sipil. Ini bukan hanya kegagalan institusional, tapi kegagalan moral dari seluruh sistem hukum kita.
Reformasi hukum bukan semata revisi undang-undang atau rotasi pejabat penegak hukum. Yang lebih penting adalah membangun kembali fondasi etik dan independensi dalam setiap lini sistem hukum. Penegak hukum harus bebas dari intervensi, lembaga yudikatif harus steril dari konflik kepentingan, dan pembentukan hukum harus kembali pada prinsip partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Pendidikan hukum juga harus berubah. Kita tidak boleh terus mencetak sarjana hukum yang hanya pandai menghafal pasal, tapi harus membentuk insan hukum yang berani bersuara, punya integritas, dan menghayati keadilan sebagai panggilan moral.
Dan pada akhirnya fenomena hukum hari ini bukan sekadar anomali. Ia adalah tanda krisis. Krisis kepercayaan, krisis legitimasi, dan krisis arah. Jika tidak ada upaya serius untuk membenahi sistem dari hulu ke hilir, maka negara hukum hanya akan menjadi slogan kosong. Dan bila hukum tidak bisa lagi menjadi alat keadilan, maka ia hanya akan menjadi alat kekuasaan. Saatnya kita bersuara. Bukan untuk menggugat hukum, tetapi untuk menyelamatkannya.