Dalam sistem hukum Indonesia, hubungan antara hukum adat dan hukum negara selalu menjadi perdebatan, terutama dalam hal pengaturan harta warisan. Belakangan ini, muncul wacana bahwa harta warisan yang tidak memiliki ahli waris dapat dikuasai oleh negara. Wacana ini menimbulkan pertanyaan fundamental: sejauh mana negara dapat mengintervensi kepemilikan harta dalam sistem hukum adat?
Hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia memiliki aturan tersendiri mengenai warisan. Setiap komunitas adat memiliki tata cara pewarisan yang beragam, tetapi pada umumnya warisan dipandang sebagai sesuatu yang harus tetap berada dalam lingkungan komunitas keluarga atau kerabat. Dalam sistem kekerabatan patrilineal, seperti pada masyarakat Batak atau Minangkabau (dalam harta pusaka rendah), warisan biasanya jatuh kepada laki-laki dalam garis keturunan ayah atau ibu. Sementara dalam sistem kekerabatan matrilineal, seperti Minangkabau dalam konteks harta pusaka tinggi, warisan tidak bisa berpindah ke luar suku.
Di banyak komunitas adat, jika seseorang meninggal tanpa ahli waris langsung, harta biasanya tetap berada dalam lingkungan keluarga besar atau suku. Mekanisme ini berbeda dengan sistem hukum negara yang cenderung menganggap harta tanpa ahli waris sebagai bona vacantia (harta tak bertuan) yang dapat diambil alih oleh negara.
Kritik terhadap Penguasaan Negara atas Harta Warisan
Dalam perspektif hukum adat, pemindahan harta warisan kepada negara tanpa mempertimbangkan mekanisme adat merupakan bentuk intervensi negara yang berlebihan. Dalam hal ini saya memberikan kritik terhadap kebijakan ini. Pertama, dalam hal ini negara telah mengabaikan kearifan lokal. Jika kita lihat dalam perspektif hukum adat, masyarakat adat memiliki mekanisme sendiri untuk mendistribusikan warisan jika tidak ada ahli waris langsung. Tentunya pengambilalihan oleh negara dapat memutus kesinambungan tradisi ini.
Kedua, adanya potensi ketidakadilan bagi komunitas adat. Jika harta seseorang yang tidak memiliki ahli waris langsung langsung jatuh ke negara, maka komunitas adat kehilangan hak untuk mempertahankan aset-aset leluhur mereka. Hal ini bisa berdampak pada hilangnya sumber daya ekonomi komunitas tersebut.
Ketiga, terjadinya pergeseran nilai kolektivitas ke individualisme. Yang sama kita ketahui dalam hukum adat, warisan bukan sekadar hak individu tetapi juga bagian dari hak kolektif masyarakat adat. Penguasaan oleh negara menunjukkan pergeseran ke arah individualisme hukum yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip hukum adat.
Terakhir, tentu pengambilan harta warisan ini sangat berpotensi penyalahgunaan kekuasaan. Jika tidak ada aturan yang jelas dan mekanisme kontrol yang kuat, pengambilalihan harta oleh negara berpotensi disalahgunakan, terutama dalam konteks penguasaan aset-aset bernilai tinggi.
Maka dari itu, agar kebijakan terkait harta warisan tetap menghormati prinsip hukum adat, beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan adalah: Dalam hal ini negara harus menegaskan peran masyarakat adat. Kenapa demikian? Sebelum negara mengklaim harta tanpa ahli waris, perlu ada mekanisme yang memungkinkan komunitas adat untuk mengajukan klaim atas warisan tersebut berdasarkan adat yang berlaku.
Selain itu, setiap pengalihan harta ke negara sebaiknya melalui konsultasi dengan pemuka adat dan ahli waris tidak langsung (jika ada) untuk menentukan apakah warisan tersebut masih memiliki keterikatan dengan komunitas atau masyarakat adat. Yang paling penting sekali, peraturan yang mengatur pengambilalihan harta oleh negara harus mempertimbangkan keberagaman hukum adat di Indonesia, bukan hanya mengikuti prinsip hukum Barat yang menekankan kepemilikan individu.
Untuk itu, dalam hemat saya terkait wacana bahwa harta warisan tanpa ahli waris dapat langsung dikuasai negara perlu dikaji ulang dalam perspektif hukum adat. Negara tidak boleh mengabaikan keberadaan mekanisme pewarisan dalam komunitas adat yang telah berlangsung turun-temurun.
Jika negara tetap mengambil alih warisan tanpa mempertimbangkan aspek adat, hal ini tidak hanya mencederai kearifan lokal tetapi juga berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat adat. Oleh karena itu, penting bagi pembuat kebijakan untuk merancang regulasi yang menghormati hukum adat serta hak-hak komunitas adat dalam mengelola warisan leluhur mereka.