Dedi Mulyadi: Gubernur Konten dan Efisiensi Anggaran

Author PhotoDesi Sommaliagustina
29 Apr 2025
Raker-Gubernur-dengan-Komisi-II-DPR-RI-768x432

Pernyataan Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, yang menyebut Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, sebagai “Gubernur Konten” dalam rapat bersama Komisi II DPR (29/4/2025) memantik diskusi publik yang menarik. Sebutan itu direspons santai oleh Dedi, bahkan dibalik menjadi argumentasi efisiensi anggaran. Ia mengklaim, berkat konten-konten yang viral, belanja iklan Pemprov Jawa Barat dapat ditekan dari Rp 50 miliar menjadi Rp 3 miliar.

“Alhamdulillah, dari konten yang saya miliki itu bisa menurunkan belanja rutin iklan,” ujar Dedi (Kompas.com, 29/4/2025).

Efisiensi ini memang terdengar mengesankan. Namun dari perspektif tata kelola pemerintahan berbasis hukum, ada sejumlah hal yang perlu dikaji lebih dalam. Apakah efisiensi ini dilandasi transparansi dan akuntabilitas? Bagaimana dengan batas antara kepentingan publik dan pencitraan personal? Dan yang lebih penting, sejauh mana ruang digital yang digunakan kepala daerah itu tunduk pada prinsip-prinsip hukum publik?

Dalam sistem hukum administrasi publik Indonesia, pejabat negara adalah ambtenaar—pelayan masyarakat yang tunduk pada prinsip legalitas (wetmatigheid van bestuur). Artinya, segala tindakan mereka, termasuk tindakan yang tampak sederhana seperti unggahan konten di media sosial, terikat pada norma hukum.

Jika media sosial digunakan untuk menyampaikan program-program resmi pemerintahan, maka seharusnya ia dikelola secara institusional dan tunduk pada prinsip akuntabilitas publik. Akan menjadi problematik jika akun pribadi pejabat—dengan nama dan wajah pribadinya—digunakan untuk mewakili kebijakan publik, karena menimbulkan kekaburan antara identitas jabatan dan individu.

Guru besar hukum administrasi negara, Prof. Philipus M. Hadjon, pernah mengingatkan bahwa penyelenggara pemerintahan tidak boleh bertindak sewenang-wenang, termasuk dalam bentuk penyampaian informasi. “Prinsip legalitas bukan hanya soal izin, tetapi juga tentang etika kekuasaan yang beradab,” tulisnya dalam Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (2020).

Efisiensi Boleh, Tapi Harus Transparan

Di sisi lain, penggunaan media sosial oleh pejabat publik sesungguhnya dapat dilihat sebagai manifestasi dari prinsip keterbukaan informasi publik, sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008. Dalam Pasal 3 UU KIP ditegaskan bahwa keterbukaan informasi bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara.

Namun, keterbukaan informasi haruslah disampaikan melalui saluran resmi, atau setidaknya dikelola dengan standar informasi yang dapat diverifikasi, bukan sekadar narasi visual atau impresi personal. Jika kepala daerah menyampaikan informasi program pemerintah lewat akun pribadi, lalu mengganti atau menghapus kontennya secara sepihak, siapa yang bisa menuntut kejelasan atau meminta koreksi?

Dalam hal ini, publik kehilangan jalur formal untuk menuntut keabsahan atau pembuktian data. Ini berisiko menimbulkan maladministrasi informasi dan manipulasi narasi publik.

Pernyataan Dedi soal penghematan anggaran iklan dari Rp 50 miliar menjadi Rp 3 miliar tentu menggembirakan. Angka tersebut perlu dikonfirmasi lewat laporan pertanggungjawaban anggaran. Apakah benar pengurangan belanja media diiringi dengan peningkatan capaian komunikasi publik? Apakah penurunan anggaran tidak menutupi realokasi dana promosi ke jalur informal lainnya?

Dalam konteks hukum keuangan negara, Pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003 menyatakan bahwa pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Jika anggaran iklan ditekan secara drastis, maka penting untuk mengaudit juga kinerja penyampaian informasi publiknya. Penghematan tidak boleh mengorbankan hak masyarakat atas informasi yang jelas dan berkualitas.

Sebagaimana diingatkan BPK dalam LHP mereka tahun 2022, “Pengurangan anggaran informasi tanpa kajian kebutuhan komunikasi publik dapat menimbulkan efek negatif berupa misinformasi dan rendahnya partisipasi masyarakat.”

Fenomena “Gubernur Konten” menandakan pentingnya pemerintah pusat, melalui Kemendagri dan Kominfo, menyusun pedoman nasional tentang komunikasi digital pejabat daerah. Pedoman ini perlu memuat: pertama, standar penggunaan media sosial pribadi untuk kepentingan penyampaian kebijakan publik. Kedua, aturan pembiayaan konten dan kewajiban transparansi sumber dana. Ketiga, mekanisme akuntabilitas dan pelaporan komunikasi digital pejabat publik. Keempat, perlindungan terhadap data dan informasi publik yang disampaikan lewat jalur informal.

Ketiadaan aturan ini membuat setiap kepala daerah berjalan dengan logika komunikasi masing-masing, dan rawan menciptakan ketimpangan kualitas informasi antarwilayah. Memang, publik menyukai pemimpin yang tampil apa adanya, yang dekat lewat layar, dan yang membicarakan hal-hal dengan bahasa sehari-hari. Tetapi dalam sistem pemerintahan yang berbasis hukum dan akuntabilitas, komunikasi digital tidak boleh jadi ajang pencitraan semata.

Menjadi “Gubernur Konten” tidak salah. Bahkan patut diapresiasi jika memang berdampak pada efisiensi. Kepemimpinan yang kuat itu bukan pada tampilan, tapi pada tanggung jawab. Konten yang viral harus diimbangi dengan transparansi, keterbukaan data, dan mekanisme pertanggungjawaban hukum. Jika tidak, kita hanya akan memiliki pejabat yang sibuk membangun engagement, tetapi lupa membangun kepercayaan institusional yang sah dan berkelanjutan.

Artikel Terkait

Rekomendasi