Bolehkah Kepala Daerah Dipilih Oleh DPRD?

Author PhotoDesi Sommaliagustina
14 Dec 2024
Ilustrasi Pilkada Serentak 2024
Ilustrasi Pilkada Serentak 2024

Pernyataan Prabowo Subianto yang mengusulkan kembali ke sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD memantik diskusi luas. Usulan ini memunculkan perdebatan hukum dan demokrasi, terutama terkait konstitusionalitas dan dampaknya terhadap sistem pemerintahan di Indonesia.

Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung pertama kali diterapkan pada 2005 berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelumnya, kepala daerah dipilih oleh DPRD sesuai dengan amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang berbunyi:
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”

Merujuk frasa “dipilih secara demokratis” ini menjadi dasar multitafsir. Pilihan langsung oleh rakyat atau pemilihan melalui DPRD sama-sama dapat dianggap memenuhi asas demokrasi, tergantung bagaimana interpretasinya dalam peraturan perundang-undangan. Secara prinsip, sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukanlah hal yang inkonstitusional, asalkan tetap memenuhi kriteria dipilih secara demokratis. Perubahan ini membutuhkan revisi terhadap undang-undang yang saat ini mengatur pilkada langsung, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Selain itu, sistem pemilihan oleh DPRD memiliki preseden hukum yang sah karena pernah berlaku sebelum 2005. Dengan kata lain, sistem ini dapat diterapkan kembali jika disepakati oleh pembuat undang-undang (DPR dan pemerintah).

Sangat penting untuk dicatat bahwa konstitusionalitas sebuah sistem tidak hanya dilihat dari legalitas formal, tetapi juga dari sejauh mana sistem tersebut mendukung prinsip kedaulatan rakyat, transparansi, dan akuntabilitas pemerintahan.

Menilik pernyataan Prabowo yang menyebut alasan efisiensi biaya dan mengurangi konflik horizontal sebagai pertimbangan utama. Memang benar, pilkada langsung sering memakan biaya besar dan rawan gesekan politik di masyarakat. Sistem pemilihan oleh DPRD berpotensi mengurangi risiko ini, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan masalah baru, seperti:

Pertama, minimnya akuntabilitas publik, kepala daerah yang dipilih oleh DPRD lebih rentan terhadap praktik politik transaksional. Tanpa legitimasi langsung dari rakyat, akuntabilitas kepada pemilih bisa berkurang.

Kedua, potensi penguatan oligarki lokal. Sistem ini dapat memperkuat dominasi elit politik lokal dalam menentukan kepala daerah, sehingga membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan dan mengurangi representasi aspirasi rakyat.

Ketiga, kemunduran demokrasi substansial. Meskipun konstitusi membolehkan interpretasi demokratis secara luas, demokrasi substansial lebih menekankan pada partisipasi langsung rakyat. Kembali ke sistem DPRD dapat dianggap sebagai langkah mundur dari semangat reformasi.

Secara hukum, usulan Prabowo tidak bertentangan dengan konstitusi, tetapi implikasi politik dan sosialnya harus dipertimbangkan dengan matang. Jika efisiensi menjadi alasan utama, alternatif reformasi pilkada langsung seperti e-voting atau penyederhanaan tahapan pemilu dapat menjadi solusi tanpa mengorbankan prinsip partisipasi rakyat.

Revisi sistem pemilihan kepala daerah harus dilakukan dengan pendekatan menyeluruh, memastikan bahwa demokrasi, transparansi, dan keadilan tetap menjadi pilar utama dalam tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia. Mengubah mekanisme pilkada bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga pilihan ideologis tentang wajah demokrasi masa depan negeri ini.

Artikel Terkait

Rekomendasi