Praktik ketatanegaraan Indonesia tidak kekurangan orang-orang hebat, sebut saja dua nama besar yaitu Prof. Satjipto Rahardjo begawan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Prof. Sri Soemantri begawan hukum Universitas Padjadjaran. Dua nama tersebut adalah penuntun sekaligus penerang dunia hukum Indonesia ketika negara hukum Indonesia mengalami pasang surut dan kesemerawutan penegakan hukumnya. Walaupun mereka berasal dari pendekatan konsentrasi keilmuan yang berbeda, akan tetapi keduanya memiliki kontribusi penting dalam membentuk dan memperjuangkan wajah hukum ketatanegaraan Indonesia yang lebih demokratis dan berkeadilan. Prof. Satjipto dikenal sebagai pemikir hukum progresif yang menekankan pentingnya keadilan substantif dan peran aktif hukum dalam menjawab persoalan sosial. Sementara Prof. Sri Soemantri lebih banyak dikenal sebagai ahli hukum tata negara sekaligus bapak hukum tata negara modern yang sangat mendalami konstitusi dan sistem ketatanegaraan, khususnya dalam konteks reformasi konstitusi pasca-1998. Ketika membicarakan dua tokoh besar tersebut walaupun terdapat perbedaan, namun dibalik perbedaan tersebut terdapat titik temu yang mempunyai gagasan visioner tentang dinamika tantangan hukum dan ketatanegaraan Indonesia. beberapa titik temu tersebut yaitu:
Pertama, keduanya sama-sama mempunyai basis berpikir dengan tidak tunduk pada sakralitas formalistik suatu aturan tertulis terhadap praktik hukum yang kaku. Prof Tjip dalam gagasan hukum progresifnya menolak bahwa hukum bukan hanya barisan kata-kata yang dibukukan dalam aturan tertulis berupa pasal-pasal yang kaku dan tidak menyatu dalam denyut jantung kehidupan masyarakat. Tidak jauh berbeda dengan hal tersebut. Prof Sri Soemantri dalam melihat konstitusi, ia menerangkan dengan lantang bahwa konstitusi bukanlah dokumen suci layaknya kitab suci yang tidak bisa di rubah, tetapi konstitusi harus mampu beradaptasi dengan perubahan sosial-politik masyarakat. Oleh karenanya menurut Prof Sri Soemantri amandemen UUD NRI Tahun 1945 adalah salah satu wujud nyata konstitusi yang hidup (living constitution) dan menjawab segala tantangan zaman.
Kedua, bahwa baik Prof Satjipto maupun Prof Sri Soemantri menempatkan daulat rakyat (democracy) dan partisipasi publik merupakan prinsip dasar yang penting dalam membangun semangat penyelenggaraan negara serta memperkokoh sendi-sendi ketatanegaraan. Dalam semangat hukum progresif Satjipto mengumandangkan agar hukum dijauhkan dari kepentingan elite kekuasaan belaka melainkan menjadi milik rakyat. Hukum harus memberikan akses keadilan bagi suara masyarakat dan menjamin keadilan substantif, maka di sini tegas dalil hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya mengabdi pada kepentingan kekuasaan. Seirama yang disampaikan, Sri Soemantri mendorong proses amandemen konstitusi yang terbuka dan partisipatif, agar hasilnya mencerminkan aspirasi rakyat dan memperkuat sistem demokrasi yang sejalan dengan sendi-sendi kerakyatan dan negara hukum serta menjauhkan konstitusi pada kepentingan elite kekuasaan yang cenderung melemahkan sendi-sendi kerakyatan yang demokratis.
Ketiga, keduanya berpandangan bahwa hukum tata negara harus menjamin keadilan substantif, bukan sekadar keadilan prosedural. Prof. Satjipto menekankan bahwa hukum harus menciptakan keadilan nyata dalam kehidupan masyarakat dan tidak terjebak pada sakralitas teks formalistik dalam hukum modern. Hukum tidak boleh hanya mengatur, tetapi juga harus melindungi dan Prof. Sri Soemantri menilai bahwa konstitusi yang baik adalah konstitusi yang mampu menghindari penyalahgunaan wewenang, adanya keseimbangan kekuasaan, menjamin hak asasi manusia, serta mengikuti denyut nadi kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, dalam batas penalaran yang wajar titik temu keduanya juga terlihat dalam semangat reformasi hukum. Meskipun Prof Satjipto lebih banyak berkontribusi dalam ranah pemikiran dan kritik sosial dinamika perubahan hukum dan masyarakat, sementara Prof Sri Soemantri terlibat langsung dalam proses amandemen konstitusi UUD 1945, akan tetapi kemudian keduanya memiliki visi yang sama: mendorong perubahan sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia menuju arah yang lebih demokratis, inklusif, dan berkeadilan.
Dengan demikian, pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo dan Prof. Sri Soemantri memperkaya khazanah hukum tata negara Indonesia dari dua sisi yang saling melengkapi, Prof Satjipto dengan pendekatan sosiologis humanisnya, serta Prof Sri Soemantri dengan pendekatan konstitusional dan kerangka desain ketatanegaraannya. Lebih jauh keduanya menunjukkan bahwa hukum tata negara tidak hanya soal struktur dan prosedur formalistik, tetapi juga tentang bagaimana hukum menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terakhir, penulis berpesan pada generasi pembelajar ilmu hukum serta pengrajin hukum tata negara, mari warisi pemikiran mereka dengan selalu menghadirkan gagasan mereka pada ruang-ruang kelas, jauh dari itu kenanglah secara terus-menerus apapun itu bentuk nasihat dari mereka sebagai bekal memperbaiki hukum Indonesia yang masih mencari bentuk terbaiknya

Mahasiswa Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Konsentrasi Hukum Kenegaraan