Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan penarikan permohonan terkait perkara nomor 130/PUU-XXII/2024, yang diajukan oleh seorang warga bernama Zulferinanda. Permohonan tersebut sebelumnya menggugat ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c dan huruf e Undang-Undang Pilkada. Keputusan ini disampaikan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang berlangsung di gedung MK, Jakarta Pusat, pada Kamis, 31 Oktober 2024.
Suhartoyo mengungkapkan bahwa MK menerima penarikan kembali permohonan tersebut, yang berkaitan dengan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Selain itu, MK juga mengembalikan salinan dokumen permohonan kepada pemohon dan menegaskan bahwa pemohon tidak dapat mengajukan kembali gugatan yang sama di kemudian hari.
“MK memutuskan bahwa pemohon tidak bisa mengajukan kembali permohonan ini. Kami akan mencatat penarikan kembali permohonan dalam buku registrasi perkara konstitusi elektronik (e-BRKP) dan mengembalikan berkas pemohonan kepada pemohon,” tambah Suhartoyo. Proses penarikan permohonan ini diterima MK pada 14 Oktober 2024, melalui surat yang disampaikan oleh juru panggil.
Zulferinanda sebelumnya telah mengajukan gugatan untuk mengubah syarat pendidikan calon kepala daerah, menginginkan agar ketentuan yang ada mengharuskan calon memiliki gelar sarjana. Dalam gugatan tersebut, Zulferinanda mengkritik Pasal 7 yang menyatakan bahwa calon gubernur dan calon wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hanya perlu memiliki pendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) atau sederajat.
Berikut adalah bunyi dari Pasal 7 ayat (2) yang menjadi objek gugatan:
1. **Huruf c**: Berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat.
2. **Huruf e**: Berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati, wakil bupati, dan wali kota serta wakil wali kota.
Zulferinanda mengemukakan bahwa batas pendidikan minimum yang hanya mencakup SLTA atau sederajat tidak sejalan dengan cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia berargumen bahwa calon kepala daerah harus memiliki pemikiran yang matang untuk merumuskan program-program pengembangan sumber daya manusia, membangun kemandirian ekonomi, serta merumuskan kebijakan ekonomi daerah. Pemohon mempertanyakan kemampuan seorang kepala daerah untuk menjalankan tugasnya jika hanya memiliki pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan SLTA.
Zulferinanda menyadari bahwa meskipun tidak ada jaminan absolut antara tingkat pendidikan dan keberhasilan, seorang sarjana biasanya lebih terlatih dalam menganalisis permasalahan serta mengambil keputusan sebelum kebijakan dijalankan. Dia juga mempertanyakan ketentuan batas usia minimal untuk calon bupati dan wali kota.
Dalam petitum gugatan, Zulferinanda mengajukan beberapa tuntutan, antara lain:
1. Mengabulkan seluruh permohonannya.
2. Menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf c dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga perlu diubah menjadi ‘berpendidikan paling rendah sarjana atau sederajat.’
3. Menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf e juga bertentangan dengan UUD 1945, sehingga frasa ’25 tahun’ perlu dihapus, sehingga batas usia calon menjadi ‘berusia paling rendah 30 tahun.’
4. Memerintahkan agar putusan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Atau jika MK memiliki pandangan yang berbeda, diharapkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Dengan keputusan penarikan ini, MK menetapkan bahwa kasus ini tidak akan dilanjutkan lebih jauh, dan Zulferinanda tidak dapat mengajukan gugatan serupa di masa mendatang. Ini mencerminkan prosedur hukum yang ada di Indonesia, di mana pemohon memiliki hak untuk menarik permohonan sebelum atau selama proses pemeriksaan di MK berlangsung.