KPK Selidiki Kasus Korupsi di Militer, Soleman Ponto: Putusan MK Bertentangan dengan UUD 1945

Author Photoportalhukumid
19 Dec 2024
Gedung KPK (www.cakaplah.com).
Gedung KPK (www.cakaplah.com).

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan wewenang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki, menyidik, dan menuntut kasus korupsi yang melibatkan baik individu sipil maupun militer, dengan catatan bahwa kasus tersebut sudah ditangani oleh KPK sejak awal. Putusan ini berasal dari uji materi nomor 87/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh advokat Gugum Ridho Putra. MK menegaskan bahwa KPK memiliki kewenangan untuk menangani kasus-kasus korupsi di lingkungan TNI, Kementerian Pertahanan, serta lembaga-lembaga keamanan lainnya hingga adanya putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat.

Namun, keputusan MK ini mendapat kritikan dari pengamat militer, Soleman B. Ponto, yang berpendapat bahwa keputusan tersebut tidak tepat. Ponto menilai bahwa putusan MK bertentangan dengan Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang secara jelas memisahkan empat jenis peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Ponto, prinsip kompetensi absolut dalam UUD 1945 harus dipertahankan, yang berarti anggota TNI hanya bisa diadili oleh peradilan militer, sementara warga sipil diadili oleh peradilan umum. Dengan memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI, MK dianggap telah melanggar konstitusi dan bertindak melawan negara hukum.

Ponto juga menjelaskan bahwa banyak kasus korupsi yang melibatkan militer tidak terjadi secara terpisah, melainkan sering kali melibatkan pihak sipil. Misalnya, dalam kasus pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista), di mana kontraktor sipil bekerja sama dengan pejabat militer untuk memenangkan tender melalui suap, atau dalam kasus dana operasional TNI yang melibatkan penyedia jasa sipil dalam pengaturan dana fiktif. Dalam kasus-kasus semacam ini, Ponto menyarankan agar pengusutan dilakukan melalui mekanisme Peradilan Koneksitas yang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 89 hingga Pasal 94. Peradilan Koneksitas melibatkan penyidik dari kepolisian, polisi militer, dan oditur militer, serta majelis hakim yang juga melibatkan hakim militer.

Ponto menekankan bahwa dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang melibatkan pihak militer dan sipil, Kejaksaan Agung harus mengambil peran koordinasi melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil), sementara KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penyelidikan dan penuntutan. UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sendiri memberikan kewenangan kepada Kejaksaan Agung untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan militer dan sipil melalui mekanisme koordinasi. Oleh karena itu, Ponto menekankan bahwa KPK tidak boleh bertindak sendiri tanpa koordinasi dengan kejaksaan dan Polisi Militer (POM).

Ponto juga menegaskan bahwa militer tidak menentang pengungkapan kasus korupsi oleh KPK, asalkan prosedur yang berlaku dipatuhi. Dia menambahkan bahwa jika KPK ingin melakukan penangkapan, itu boleh dilakukan, namun hasilnya harus tetap dikoordinasikan dengan jaksa dan POM. KPK, dalam perannya, seharusnya lebih berfokus pada pengawasan dan pengendalian, bukan langsung menangani kasus tanpa melibatkan pihak terkait yang berkompeten.

Sumber:
https://www.inilah.com/kpk-usut-korupsi-militer-soleman-ponto-putusan-mk-tabrak-uud-45

Artikel Terkait

Rekomendasi