Dua advokat yaitu Harmoko dan Juanda mengajukan uji materiil terhadap Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang mengatur tentang imunitas jaksa. Mereka mempertanyakan keadilan konstitusional atas ketentuan yang memberikan hak imunitas absolut kepada jaksa sehingga dinilai menghilangkan kontrol dan pengawasan terhadap kerja jaksa tersebut.
Para pemohon menilai bahwa ketentuan ini memberikan perlindungan tanpa batas bagi jaksa yang melakukan tindakan dalam menjalankan tugasnya, sehingga berpotensi menimbulkan ketimpangan hak imunitas antara jaksa dan advokat.
Mereka mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi untuk menilai apakah aturan tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan dan konstitusi.
Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah memberikan putusan terkait hak imunitas advokat dalam Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana selama menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Namun, ruang lingkup imunitas advokat ini tidak mencakup proses penyidikan sehingga berbeda dengan imunitas jaksa yang dipersoalkan saat ini.
Dalam konteks ini, Mahkamah akan mempertimbangkan apakah ketentuan imunitas jaksa yang absolut tersebut sesuai dengan nilai-nilai negara hukum dan prinsip keadilan sosial sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Hal ini penting mengingat jaksa sebagai aparat penegak hukum juga tunduk pada kode etik profesi dan dapat diberhentikan sementara jika diduga melakukan pelanggaran pidana atau perdata, sehingga proses hukum tetap dapat berjalan meskipun ada imunitas.
Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan mengatur bahwa pemanggilan, pemeriksaan, hingga penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Jaksa Agung. Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi jaksa agar dapat menjalankan tugasnya tanpa intimidasi, gangguan, atau campur tangan yang tidak tepat. Namun, dalam praktiknya, aturan ini menimbulkan kontroversi karena dianggap membuka celah bagi jaksa untuk menghindari pertanggungjawaban hukum dan menghambat proses penegakan hukum.
Para ahli hukum dan praktisi menilai bahwa hak imunitas absolut tersebut bertentangan dengan prinsip equality before the law, di mana semua orang, termasuk jaksa, harus memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Mereka juga menyoroti tidak adanya mekanisme pengawasan yang jelas dan rinci dalam pelaksanaan hak imunitas ini, sehingga meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang. Beberapa pihak bahkan meminta agar ketentuan hak imunitas ini dihapus demi menjaga integritas sistem hukum Indonesia.
Dengan demikian, uji materiil ini muncul dari kekhawatiran bahwa Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan memberikan imunitas yang terlalu luas kepada jaksa, yang dapat melemahkan kontrol dan pengawasan terhadap kinerja jaksa serta berpotensi merusak prinsip keadilan dan kesetaraan hukum di Indonesia.
Kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan sangat bergantung pada transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme jaksa dalam menjalankan tugasnya. Jaksa yang berintegritas tinggi dan menjalankan tugas dengan prinsip keadilan, independensi, dan objektivitas dapat membangun dan meningkatkan kepercayaan publik.
Sebaliknya, jika hak imunitas absolut digunakan untuk menghindari pertanggungjawaban, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan akan menurun.
Singkatnya, dua advokat menguji materiil aturan imunitas jaksa yang dianggap memberikan perlindungan berlebihan tanpa batas yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan konstitusional, dan Mahkamah Konstitusi tengah menelaah apakah aturan tersebut sesuai dengan konstitusi dan prinsip negara hukum.
Sumber :
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=23029&menu=2
Polemik Pasal 8 Ayat 5 UU Kejaksaan, Praktisi Hukum: Tak Perlu Izin dari Jaksa Agung