Pemerintah Indonesia tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (RUU HAM) sebagai bagian dari upaya memperbarui regulasi nasional yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman dan tantangan HAM kontemporer. Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, memastikan bahwa revisi UU HAM telah resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029.
Proses pembaruan ini berangkat dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang selama 24 tahun dianggap belum mengakomodasi perubahan signifikan dalam konteks pelaku pelanggaran HAM dan perluasan cakupan hak asasi. “Undang-undang ini sangat penting karena akan melandasi hajat hidup bangsa Indonesia, khususnya dalam bidang hak-hak yang bersifat mendasar dan universal. Oleh karena itu, meskipun pembahasan revisi ini baru masuk dalam Prolegnas jangka panjang lima tahunan, kami sudah memulai penyusunan bahan dasarnya,” kata Pigai.
Menurut Natalius Pigai, aktor pelanggar HAM saat ini sudah mengalami pergeseran, tidak hanya negara sebagai pelaku tetapi juga korporasi dan individu, sebagaimana sudah mulai diakui di beberapa negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat. Karena itu, revisi UU HAM harus mampu mengantisipasi pergeseran tersebut dengan memperluas ketentuan aktor pelanggar HAM.
Tahapan formal legislasi dimulai dengan penyusunan naskah akademik dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang hingga Juli 2025 telah rampung sekitar 60 persen. Kemenkumham juga aktif meminta masukan dari 25 kementerian, lembaga, serta berbagai organisasi masyarakat sipil untuk memperkaya substansi RUU. “Kami sudah menerima masukan dari beberapa pihak dan masih menunggu dari yang lain,” ujar Menteri Pigai.
Pembaruan ini juga didorong oleh tuntutan masyarakat sipil dan organisasi HAM yang menginginkan perlindungan hak asasi manusia yang lebih efektif, terutama bagi kelompok rentan dan korban pelanggaran HAM masa lalu. Sejumlah mekanisme perlindungan dan rehabilitasi korban diusulkan masuk dalam isi revisi.
Sejarah regulasi HAM Indonesia berawal dari pembentukan UU No. 39 Tahun 1999 yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Selama dua dekade implementasi, UU ini mendapat kritik karena masih menganggap negara sebagai satu-satunya aktor pelanggar HAM dan belum ada ketentuan kuat terkait tanggung jawab korporasi serta penyelesaian pelanggaran masa lalu secara komprehensif.
Selain itu, sejumlah regulasi pendukung seperti UU tentang Komnas HAM, perlindungan anak dan perempuan, serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah diterbitkan, namun masih terdapat tumpang tindih dan lemahnya sanksi terhadap pelanggaran HAM yang berulang.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 16 Tahun 2024 juga menegaskan pentingnya pengarusutamaan HAM dalam setiap proses pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga RUU HAM baru harus mengintegrasikan perspektif HAM secara komprehensif dan sistematis.
Dalam pembahasan yang melibatkan Komisi III dan Komisi VIII DPR, serta Kemenkumham, dialog dengan masyarakat sipil dan akademisi menjadi bagian penting guna memastikan RUU tersebut inklusif dan responsif terhadap kebutuhan bangsa. Pembahasan intensif dijadwalkan mulai Agustus 2025.
Pigai optimistis DPR kini lebih peduli terhadap isu-isu HAM dan kemungkinan besar akan mengesahkan RUU HAM dalam periode legislatif ini. Ia menilai revisi ini bukanlah untuk melemahkan UU yang ada, melainkan memperkuat dan memperbarui agar sesuai dengan perkembangan hukum HAM internasional dan kebutuhan nasional.
Meski demikian, terdapat berbagai tantangan dalam proses legislasi ini, terutama dalam menyepakati substansi terkait pelanggaran HAM masa lalu seperti restitusi dan rehabilitasi korban yang selama ini belum tertangani sempurna. Kritik ini disertai harapan bahwa revisi ini memberikan solusi konkret dan sistematis.
Ketua DPR dan pimpinan Komisi III menyerukan agar proses revisi berjalan transparan, partisipatif, dan mempertimbangkan aspirasi luas masyarakat agar regulasi yang dihasilkan bersifat final dan dapat diimplementasikan secara efektif.
RUU HAM yang baru nantinya diharapkan mampu memperkuat perlindungan hak dasar warga negara, memperluas cakupan aktor pelanggar, serta menata ulang mekanisme penegakan hukum HAM dan pemulihan korban secara menyeluruh sesuai standar HAM internasional dan konstitusi Indonesia.
Semua proses legislasi berjalan sesuai mekanisme yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU MD3, dengan keterlibatan publik melalui konsultasi dan dialog terbuka agar hasilnya dapat diterima dan diimplementasikan efektif.
Proses ini juga menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia dalam meneguhkan komitmennya terhadap perlindungan hak asasi manusia, sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk mewujudkan kemajuan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sumber
https://www.metrotvnews.com/read/NG9CQy1B-revisi-uu-ham-ditargetkan-mulai-dibahas-agustus-2025
https://www.metrotvnews.com/read/KdZCjgXV-menteri-pigai-ingin-memperkuat-posisi-komnas-ham