Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisian secara berulang mencerminkan permasalahan mendasar dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Meskipun institusi kepolisian memiliki mekanisme internal seperti sanksi etik untuk menindak pelanggaran, kenyataan menunjukkan bahwa pendekatan ini belum mampu memberikan efek jera yang signifikan. Kasus-kasus serupa terus bermunculan, mulai dari pelanggaran ringan hingga tindakan serius yang melanggar hak asasi manusia, seperti penyalahgunaan wewenang, kekerasan berlebihan, atau korupsi.
Salah satu penyebab utama lemahnya dampak sanksi etik adalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan disiplin. Dalam banyak kasus, proses pemeriksaan pelanggaran etik cenderung dilakukan secara tertutup, sehingga masyarakat tidak dapat memantau sejauh mana keadilan ditegakkan. Akibatnya, sanksi yang dijatuhkan sering kali dianggap tidak proporsional dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, sehingga menciptakan kesan bahwa pelaku mendapat perlindungan dari institusi tempatnya bekerja.
Selain itu, sanksi etik yang hanya berupa teguran, mutasi, atau penundaan kenaikan pangkat tidak cukup untuk memberikan efek jera yang kuat. Ketika pelanggaran melibatkan tindak pidana, seperti suap atau penyiksaan, sanksi etik tidak bisa menjadi pengganti proses hukum pidana. Tanpa ada tindakan hukum yang tegas, aparat yang melanggar hukum tidak merasa terancam atau dipaksa untuk berubah. Hal ini justru menciptakan budaya impunitas, di mana pelanggaran dianggap hal biasa yang tidak akan berujung pada konsekuensi serius.
Sistem pengawasan eksternal terhadap kepolisian juga masih lemah. Lembaga pengawas seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Ombudsman sering kali tidak memiliki kewenangan kuat untuk memastikan bahwa proses disiplin dilakukan dengan adil dan transparan. Dalam banyak kasus, laporan masyarakat terkait pelanggaran oleh polisi sering kali tidak ditindaklanjuti secara memadai. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap kepolisian terus menurun, yang pada gilirannya mengurangi efektivitas institusi ini dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem penegakan disiplin dan hukum di tubuh kepolisian. Pertama, sanksi etik harus diperkuat dengan transparansi yang lebih besar, sehingga masyarakat dapat memantau prosesnya. Kedua, pelanggaran yang melibatkan tindak pidana harus ditangani melalui jalur hukum, bukan sekadar sanksi internal. Ketiga, pengawasan eksternal terhadap institusi kepolisian harus diperkuat, baik melalui penguatan peran lembaga pengawas maupun dengan melibatkan masyarakat secara lebih aktif dalam pengawasan.
Tanpa langkah-langkah tegas untuk mengatasi masalah ini, pelanggaran hukum oleh aparat kepolisian akan terus berulang dan mencoreng citra institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga hukum dan keadilan. Masyarakat membutuhkan kepolisian yang bersih, transparan, dan akuntabel, karena hanya dengan cara itulah kepercayaan publik dapat dipulihkan.