Niat Jahat dalam Hukum Pidana

Author PhotoNadia Nurhalija, S.H
07 Jan 2025
Ilustrasi Hukum Pidana (www.baliadvocate.com).
Ilustrasi Hukum Pidana (www.baliadvocate.com).

Dalam hukum pidana, “niat jahat” merupakan salah satu elemen yang menentukan kesalahan dalam suatu tindak pidana. Dalam sistem common law, konsep ini dikenal sebagai mens rea.  Doktrin yang berlaku menyatakan bahwa suatu tindakan tidak dapat dianggap sebagai tindak pidana tanpa adanya kesadaran bersalah, sebagaimana diungkapkan dalam frasa an act is not criminal in the absence of a guilty mind, atau dalam bahasa Latin, actus non est reus, nisi mens sit rea.

Sementara itu, dalam sistem civil law, “niat jahat” termasuk dalam doktrin kesalahan (schuld). Doktrin ini didasarkan pada asas geen straf zonder schuld beginsel, yang berarti “tidak ada pidana tanpa kesalahan.” Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana hanya dapat diberikan apabila terdapat unsur kesalahan pada pelaku (liability based on fault). Bahkan jika semua unsur tindak pidana terpenuhi, jika tidak ada kesalahan yang dapat dibuktikan, pelaku tidak dapat dipidana. Hal ini menunjukkan bahwa “niat jahat” berperan penting dalam menilai apakah seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Kesalahan sering kali didefinisikan sebagai sikap batin seseorang yang tercermin dalam tindakan yang patut dicela. Karena sulit mengukur langsung sikap batin seseorang, kesalahan biasanya diidentifikasi melalui tindakan nyata. Kesalahan juga dapat berupa kemampuan pelaku untuk menduga bahwa perbuatannya akan menghasilkan akibat yang terlarang, namun tetap memilih untuk melanjutkan tindakan tersebut. Selain itu, kesalahan sering diartikan sebagai niat atau kehendak untuk melakukan kejahatan. Namun, niat tersebut hanya dapat terlihat ketika diwujudkan dalam tindakan. Ada pula pandangan yang menyatakan bahwa kesalahan dapat berupa kelalaian atau sikap sembrono yang mengakibatkan kerugian atau membahayakan keselamatan orang lain.

Dalam hukum pidana, kesalahan melekat pada individu yang dianggap mampu bertanggung jawab. Orang dewasa yang sehat secara mental dianggap memiliki kapasitas ini, sementara anak di bawah umur atau individu dengan gangguan jiwa biasanya tidak dianggap mampu bertanggung jawab. Oleh karena itu, mereka tidak dapat dipersalahkan secara hukum.

Penting untuk membedakan antara niat dan motif dalam hukum pidana. Niat berkaitan dengan kesengajaan pelaku dalam melakukan tindak pidana, sedangkan motif menjelaskan alasan di balik tindakan tersebut. Sebagai contoh, seseorang yang mencuri karena kelaparan memiliki motif yang berbeda dengan pelaku yang mencuri demi keuntungan pribadi. Walaupun motif tidak selalu memengaruhi pengenaan pidana, hal ini dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan berat atau ringannya hukuman yang dijatuhkan.

Dalam perkembangan hukum pidana modern, konsep niat jahat menghadapi tantangan baru, terutama dalam kejahatan siber. Dalam kejahatan semacam ini, niat jahat sering kali tidak terlihat secara langsung, tetapi dapat ditemukan melalui tindakan virtual, seperti penyebaran virus komputer atau penipuan daring. Hal ini menimbulkan kesulitan baru dalam membuktikan unsur mens rea karena bukti fisik biasanya tidak tersedia. Lebih jauh lagi, pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) memperlakukan niat jahat sebagai faktor penting dalam menentukan mekanisme penyelesaian kasus. Dalam kasus yang melibatkan pelaku anak, misalnya, fokus utama lebih diarahkan pada rehabilitasi daripada penghukuman, karena dianggap bahwa pelaku belum sepenuhnya memahami konsekuensi dari niat jahat mereka.

 

Sumber :

https://business-law.binus.ac.id/2016/04/18/niat-jahat/#:~:text=Niat%20jahat%20hanya%20bisa%20diterapkan%20pada%20kejahatan-kejahtan%20yang,maka%20niat%20jahat%20tidak%20harus%20menjadi%20unsur%20mutlak

Artikel Terkait

Rekomendasi