Kasus dugaan suap yang melibatkan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, kembali mencuat dan menyingkap adanya praktik makelar kasus dalam penanganan kasasi, khususnya dalam putusan terpidana Ronald Tannur. Hal ini menguatkan dugaan bahwa makelar kasus tidak hanya bertujuan membebaskan pelaku, tetapi juga menjatuhkan hukuman bagi terdakwa yang seharusnya tidak bersalah.
Sebagai tindak lanjut, sejumlah pihak menilai pentingnya membuka kembali dan memeriksa ulang putusan kasasi serta peninjauan kembali (PK) di MA guna memastikan tidak ada pihak yang dijatuhi hukuman secara tidak adil.
Beberapa akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) turut menyuarakan urgensi ini, termasuk bagi kasus korupsi mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming, yang sedang mengajukan PK ke MA. Berdasarkan kajian akademis, sejumlah guru besar hukum menilai putusan pengadilan pertama terhadap Mardani penuh dengan kekeliruan.
Para akademisi yang terlibat dalam kajian tersebut antara lain Retno Saraswati (Hukum Tata Negara), Yos Johan Utama (Hukum Administrasi Negara dan Pidana), Yunanto (Hukum Perdata), serta Eri Agus Priyono (Hukum Perdata). Dalam analisisnya, Yos Johan Utama, seorang guru besar Hukum di Undip, mempertanyakan dasar hukum yang digunakan hakim dalam memidana Mardani H Maming.
Yos menekankan bahwa keputusan yang diambil Mardani terkait pemindahan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sah secara hukum administrasi dan tidak pernah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memiliki wewenang dalam ranah hukum tersebut. Bahkan, putusan Pengadilan Niaga yang sudah berkekuatan hukum tetap menyatakan transaksi tersebut sebagai hubungan bisnis biasa, bukan kesepakatan tersembunyi.
“Pengadilan Tipikor yang merupakan pengadilan pidana tidak berwenang menilai keabsahan keputusan administrasi. Karena itu, tidak ada dasar untuk memidanakan terdakwa,” jelas Yos dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (31/10/2024).
Menurut Yos, hakim pidana diduga keliru dalam menafsirkan Pasal 97 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara. Pasal tersebut hanya berlaku bagi pemegang IUP dan IUPK, bukan pihak yang mengeluarkan izin. Selain itu, Yos menjelaskan bahwa perizinan tambang tersebut sudah melalui verifikasi daerah hingga pusat dan telah mendapatkan sertifikat “clear and clean” (CNC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama lebih dari satu dekade.
Di persidangan pertama, terungkap bahwa proses alih IUP ini telah memperoleh rekomendasi dari Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Tanah Bumbu yang menyatakan kesesuaiannya dengan peraturan yang berlaku, ditambah persetujuan dari Sekda, Kabag Hukum, dan Kadistamben.
“Fakta hukum menunjukkan bahwa Mardani H Maming sebagai Bupati dan pejabat tata usaha negara berwenang mengeluarkan IUP dan IUPK sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara,” ujar Yos.
Lebih lanjut, Yos menilai bahwa Mardani sebagai penerbit izin seharusnya tidak dapat dijerat pidana berdasarkan ketentuan tersebut.
Tim kajian dari Undip juga mencatat bahwa majelis hakim kemungkinan melakukan kekeliruan dalam menafsirkan transaksi antara PT Prolindo Cipta Nusantara dan PT Angsana Terminal Utama sebagai tindakan suap terselubung.
“Anotasi ini mengacu pada fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan yang diberikan hakim terhadap Mardani H. Maming,” kata Retno Saraswati, Dekan Fakultas Hukum Undip.
Retno menambahkan bahwa timnya menilai keputusan hakim dalam kasus Mardani terkesan tergesa-gesa dan tidak berdasarkan bukti konkret.
“Tim anotasi tidak menemukan bukti yang menunjukkan kejanggalan dalam transaksi antara perusahaan yang terlibat,” tambahnya.
Kasus ini berawal ketika Mardani H Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan suap dan gratifikasi sebesar Rp104,3 miliar terkait pemberian IUP di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, pada Februari 2024.
Pada tingkat pertama, Pengadilan Tipikor Banjarmasin memvonis Mardani bersalah dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta, serta kewajiban membayar uang pengganti Rp110,6 miliar. Tidak terima dengan putusan tersebut, Mardani mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin. Namun, PT Banjarmasin menolak bandingnya dan justru memperberat hukumannya menjadi 12 tahun penjara dengan denda yang sama.
Mardani pun melanjutkan proses hukum dengan mengajukan kasasi ke MA, yang kemudian juga menolak permohonannya. Merasa tetap tidak puas, ia mengajukan PK atas putusan kasasi tersebut ke MA pada Juni 2024.
Sejumlah akademisi berharap agar MA dapat meninjau ulang dan mendalami putusan terhadap Mardani untuk memastikan agar tidak ada lagi pihak yang mendapat hukuman yang tidak adil akibat kesalahan penilaian atau penerapan hukum yang tidak sesuai.