Syarat Sah Perjanjian Menurut KUH Perdata secara Lengkap

Author PhotoNabila Marsiadetama Ginting
22 Dec 2024
IMG_2307

Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Menurut KUHPerdata: Penjelasan Lengkap

Pendahuluan

Perjanjian merupakan salah satu dasar hubungan hukum dalam masyarakat. Sebagai alat pengikat, perjanjian memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang bersepakat untuk menjalankan hak dan kewajiban tertentu. Dalam hukum perdata Indonesia, perjanjian tidak hanya diatur secara umum tetapi juga mencakup syarat-syarat sahnya yang tertuang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Artikel ini akan menguraikan secara lengkap tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, konsekuensi hukum apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, dan implikasi terhadap praktik hukum perdata.

Pengertian Perjanjian

Sebelum memahami syarat sahnya perjanjian, penting untuk memahami definisi perjanjian itu sendiri. Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perjanjian sebagai, “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Subekti, seorang pakar hukum perdata, menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa di mana dua pihak saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Definisi ini menekankan adanya kesepakatan dan pengikatan diri dari para pihak yang terlibat.

Empat Syarat Sahnya Perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata

Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan empat syarat utama agar suatu perjanjian dianggap sah menurut hukum, yaitu:

1. Kesepakatan Mereka yang Mengikatkan Diri

Kesepakatan menjadi syarat fundamental dalam perjanjian. Kedua belah pihak harus mencapai konsensus tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan, atau penipuan.
• Paksaan (Dwang): Terjadi jika salah satu pihak dipaksa untuk menandatangani perjanjian, misalnya melalui ancaman.
• Kekhilafan (Dwaling): Terjadi jika salah satu pihak salah memahami fakta penting, misalnya objek yang diperjanjikan bukan seperti yang disangka.
• Penipuan (Bedrog): Terjadi jika salah satu pihak dengan sengaja memberikan informasi yang tidak benar untuk mendapatkan keuntungan.

Jika kesepakatan cacat akibat salah satu dari ketiga hal ini, perjanjian dapat dibatalkan (voidable).

2. Kecakapan untuk Membuat Perjanjian

Para pihak yang membuat perjanjian harus memiliki kecakapan hukum. Berdasarkan Pasal 1330 KUHPerdata, orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
• Anak di bawah umur (belum dewasa).
• Orang yang berada di bawah pengampuan (misalnya memiliki gangguan mental).
• Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian tertentu.

Jika salah satu pihak tidak cakap secara hukum, perjanjian dapat dibatalkan.

3. Suatu Hal Tertentu

Objek atau hal yang menjadi pokok perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan. Sebagai contoh, perjanjian untuk menjual barang yang tidak dapat diidentifikasi atau yang tidak ada secara fisik akan dianggap tidak sah.

4. Suatu Sebab yang Halal

Sebab atau tujuan perjanjian harus sesuai dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum. Perjanjian yang bertujuan melanggar hukum, misalnya perjanjian untuk melakukan tindakan kriminal, akan batal demi hukum (void).

Klasifikasi Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
1. Syarat Subjektif:
• Kesepakatan para pihak.
• Kecakapan para pihak.
• Apabila syarat ini tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan (voidable).
2. Syarat Objektif:
• Suatu hal tertentu.
• Suatu sebab yang halal.
• Apabila syarat ini tidak terpenuhi, perjanjian batal demi hukum (void), yang berarti perjanjian dianggap tidak pernah ada.

Konsekuensi Hukum Jika Syarat Tidak Terpenuhi

Apabila salah satu atau lebih syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi, terdapat dua kemungkinan konsekuensi hukum, yaitu:
1. Perjanjian Dapat Dibatalkan (Voidable):
• Terjadi jika syarat subjektif tidak terpenuhi.
• Perjanjian tetap dianggap sah hingga salah satu pihak mengajukan pembatalan.
2. Perjanjian Batal Demi Hukum (Void):
• Terjadi jika syarat objektif tidak terpenuhi.
• Perjanjian dianggap tidak pernah ada sejak awal, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum.

Syarat Sah Perjanjian dalam Praktik Hukum

Dalam praktiknya, syarat-syarat sah perjanjian sering menjadi dasar penyelesaian sengketa hukum. Hakim akan memeriksa apakah keempat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata telah terpenuhi sebelum memutuskan keabsahan suatu perjanjian.

Selain itu, kejelasan mengenai syarat sahnya perjanjian membantu para pihak untuk memahami pentingnya aspek-aspek tertentu, seperti kejelasan objek perjanjian dan kesepakatan yang bebas dari cacat kehendak.

Kesimpulan

Pasal 1320 KUHPerdata memberikan landasan hukum yang kuat mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian. Empat syarat utama, yaitu kesepakatan, kecakapan, hal tertentu, dan sebab yang halal, menjadi fondasi untuk memastikan keabsahan suatu perjanjian.

Memahami syarat-syarat ini sangat penting bagi masyarakat agar terhindar dari perjanjian yang cacat hukum. Dengan demikian, hukum perdata Indonesia melalui aturan ini berperan dalam menjaga keadilan, kepastian hukum, dan ketertiban dalam hubungan perjanjian.

Makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang syarat sahnya perjanjian menurut KUHPerdata dan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.

Artikel Terkait

Rekomendasi