Poligami dalam Adat Minangkabau: Tradisi, Status Sosial, dan Legitimasi Hukum

Author PhotoNabila Marsiadetama Ginting
21 Feb 2025
images (3)

Poligami merupakan fenomena yang telah lama ada dalam berbagai budaya, termasuk di Minangkabau. Meskipun masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal, praktik poligami tetap ditemukan dan bahkan dianggap sebagai simbol status sosial bagi laki-laki tertentu. Artikel ini akan membahas bagaimana poligami dipandang dalam tradisi adat Minangkabau, kaitannya dengan status sosial, serta bagaimana legitimasi hukum mengatur praktik ini di era modern.

Poligami dalam Tradisi Adat Minangkabau

Minangkabau dikenal dengan sistem matrilinealnya, di mana garis keturunan ditarik dari pihak ibu. Dalam sistem ini, laki-laki yang menikah hanya berstatus sumando, yang berarti ia tinggal di rumah istrinya dan tidak memiliki hak kepemilikan atas harta istri maupun keluarganya. Meskipun demikian, poligami tetap terjadi dalam kalangan laki-laki tertentu, terutama dari golongan bangsawan dan elite adat.

Beberapa faktor yang menyebabkan poligami dalam adat Minangkabau antara lain:

Tekanan Sosial dan Status: Poligami sering dikaitkan dengan kebanggaan dan prestise bagi laki-laki yang memiliki kekayaan dan pengaruh.

Dukungan Keluarga Besar: Keputusan untuk berpoligami sering kali tidak hanya didasarkan pada keinginan pribadi tetapi juga atas dorongan keluarga besar.

Keberlanjutan Keturunan: Dalam beberapa kasus, poligami dilakukan untuk memastikan kelangsungan keturunan terutama jika istri pertama tidak dapat melahirkan anak.

Meskipun poligami diterima dalam adat Minangkabau, terdapat aturan tidak tertulis yang mengatur keseimbangan dalam rumah tangga, seperti adanya kesepakatan dengan istri pertama serta persetujuan keluarga besar.

Status Sosial dan Poligami di Minangkabau

Poligami dalam masyarakat Minangkabau lebih sering ditemukan di kalangan bangsawan atau mereka yang memiliki status ekonomi tinggi. Dalam beberapa kasus, seorang laki-laki yang berpoligami justru memperoleh lebih banyak penghormatan dalam lingkungannya karena dianggap mampu menafkahi lebih dari satu keluarga.

Namun, dalam konteks modern, pandangan masyarakat Minangkabau terhadap poligami mulai berubah. Perempuan Minangkabau kini lebih berpendidikan dan memiliki kemandirian ekonomi, sehingga praktik poligami mulai berkurang terutama di daerah perkotaan. Poligami yang dahulu dianggap sebagai tanda kehormatan, kini sering dipertanyakan karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan keluarga.

Legitimasi Hukum Poligami di Indonesia

Di Indonesia, poligami diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hukum ini mengatur bahwa poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, yaitu:

1. Istri pertama tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

2. Istri mengalami cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

 

Selain itu, hukum juga mewajibkan suami yang ingin berpoligami untuk mendapatkan persetujuan dari istri pertama serta memiliki kemampuan finansial untuk menafkahi semua istri dan anak-anaknya secara adil.

Dalam konteks Minangkabau, meskipun hukum adat masih memiliki pengaruh yang kuat, praktik poligami kini lebih dikontrol oleh hukum negara. Keputusan untuk berpoligami harus melalui prosedur hukum yang ketat agar tidak merugikan pihak perempuan.

Kesimpulan

Poligami dalam adat Minangkabau memiliki akar yang kuat dalam struktur sosial dan sistem matrilineal yang dijalankan. Meskipun demikian, praktik ini lebih banyak terjadi di kalangan laki-laki dari golongan ekonomi atas dan elite adat. Dalam konteks modern, pandangan masyarakat Minangkabau terhadap poligami semakin berubah, terutama dengan adanya kesadaran akan hak perempuan dan regulasi hukum yang lebih ketat. Dengan demikian, poligami kini lebih dipandang sebagai pilihan pribadi yang harus diatur dengan kehati-hatian agar tidak melanggar prinsip keadilan dan kesejahteraan keluarga.

By : Nabila Marsiadetama Ginting

Artikel Terkait

Rekomendasi