Presiden terpilih Donald Trump secara mengejutkan mengumumkan sejumlah nama yang akan menduduki posisi strategis dalam kabinet pemerintahan barunya di Amerika Serikat. Beberapa nama yang masuk dalam daftar tersebut mencakup sejumlah tokoh kontroversial, termasuk Elon Musk, pemilik platform X, Pete Hegseth, presenter terkemuka dari Fox News, investor real estate, dan Steven Witkoff. Di antara nama-nama tersebut, keputusan Trump untuk menunjuk Matt Gaetz sebagai jaksa agung mendapat perhatian banyak pihak karena dianggap sebagai pilihan yang kontroversial.
Keempat individu yang terpilih untuk masuk kabinet Trump ini merupakan pendukung setia yang turut membantu kemenangan Trump dalam pemilu presiden yang berlangsung pada awal November. Namun, ada pertanyaan besar mengenai alasan di balik keputusan Trump untuk memilih Elon Musk dan Pete Hegseth, serta implikasi dari pemilihan tersebut terhadap arah kebijakan pemerintahan yang akan datang.
Michael Waldman, Presiden Lembaga think tank Brennan Center for Justice, mengkritik pilihan Trump tersebut dengan menyebutnya sebagai tindakan yang “sangat mengerikan”. Waldman berpendapat bahwa pemilihan para loyalis ini lebih merupakan upaya Trump untuk memperlihatkan kekuatannya kepada Senat Republik dan memaksa konfirmasi pencalonan mereka. Waldman juga melihat langkah ini sebagai bagian dari upaya Trump untuk menantang proses pemeriksaan terhadap kepresidenannya, dengan merencanakan penunjukan sepihak terhadap beberapa posisi jika pemimpin mayoritas Senat mengizinkan penunjukan tersebut saat reses.
Berdasarkan Konstitusi Amerika Serikat, Senat memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak calon yang diusulkan presiden untuk posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Namun, Trump tampaknya berharap dapat mengacaukan proses ini dengan memilih para loyalis yang dapat sepenuhnya mendukung kebijakannya.
Terdapat kekhawatiran besar tentang kelayakan beberapa nama yang dipilih Trump untuk menduduki posisi kunci dalam pemerintahan, khususnya jabatan jaksa agung. Gaetz, misalnya, tidak memiliki pengalaman di bidang Kementerian Kehakiman atau di posisi jaksa penuntut, meskipun jabatan jaksa agung merupakan posisi penegak hukum tertinggi di AS. Sejumlah pengamat menilai bahwa pemilihan Gaetz mungkin lebih terkait dengan upaya Trump untuk membatalkan beberapa kasus hukum yang melibatkan dirinya. Kasus-kasus ini, yang ditangani oleh Penasihat Khusus Jack Smith, mencakup dakwaan terhadap Trump di Washington D.C. dan Florida terkait upaya untuk membatalkan hasil pemilu 2020 dan pengambilan dokumen rahasia secara ilegal dari Gedung Putih.
Sementara itu, keputusan Trump untuk menunjuk Pete Hegseth sebagai Menteri Pertahanan juga mengundang perhatian. Meskipun Hegseth memiliki rekam jejak militer dan dikenal sebagai presenter Fox News, banyak yang meragukan pengalamannya yang cukup untuk memimpin Departemen Pertahanan. Keputusan ini dilihat sebagai langkah Trump untuk menempatkan seseorang yang akan patuh pada kebijakan dan keinginannya, seperti yang terjadi pada masa pemerintahannya sebelumnya.
Selain itu, Trump juga menunjuk Tulsi Gabbard, mantan anggota Kongres, untuk menduduki posisi Direktur Intelijen Nasional. Meskipun Gabbard memiliki sedikit pengalaman langsung dalam dunia intelijen, Trump tampaknya percaya bahwa ia akan mematuhi arahan dan visi kebijakan luar negeri yang lebih terkonsentrasi pada kepentingan dalam negeri AS. Selain itu, Musk, yang dikenal dengan kecerdasannya dalam teknologi dan efisiensi, dipercayakan untuk mengurus departemen yang bertanggung jawab atas efisiensi pemerintah, dengan harapan bahwa ia akan bisa memangkas anggaran pemerintah secara efektif.
Dalam hal kebijakan luar negeri, Trump cenderung memilih orang-orang yang mendukung kebijakan luar negeri Amerika yang lebih terfokus pada kepentingan dalam negeri dan kurang memperhatikan kebijakan globalis. Ini terlihat dari penunjukan Marco Rubio sebagai Menteri Luar Negeri, yang dikenal dengan sikap keras terhadap China dan komunis Kuba, serta dukungannya yang teguh terhadap Israel.
Sejumlah pengamat menilai bahwa strategi Trump untuk memilih loyalis di kabinet ini bertujuan untuk memberikan lebih banyak kebebasan bagi pemerintahannya di periode kedua. Keputusan ini juga mencerminkan keinginan Trump untuk menempatkan orang-orang yang setia padanya di posisi strategis, sehingga kebijakan-kebijakan utamanya dapat dijalankan lebih cepat dan lebih efisien.