Washington Tarik Ulur Aturan Halal: Kepentingan Amerika vs Kedaulatan Hukum Indonesia

ilustrasi tantangan aturan halal Indonesia yang disebut Amerika Serikat hambat perdagangan
ilustrasi tantangan aturan halal Indonesia yang disebut Amerika Serikat hambat perdagangan

Isu standar halal kembali mengemuka di ranah diplomasi ekonomi. Kali ini, tekanan datang dari Amerika Serikat yang secara terbuka menyatakan keinginannya agar Indonesia meninjau ulang sistem sertifikasi halal nasional, dengan dalih harmonisasi standar internasional dan fasilitasi perdagangan.

Pernyataan ini disampaikan dalam forum bilateral Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) antara Indonesia dan AS awal bulan ini. Delegasi AS mengusulkan agar sistem halal Indonesia, yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama, membuka ruang akreditasi lebih luas terhadap lembaga halal asing, termasuk dari AS.

Usulan itu sontak menimbulkan reaksi dari sejumlah elemen masyarakat dan pakar hukum. “Permintaan semacam ini bukan hanya soal prosedur administratif. Ini menyentuh aspek kedaulatan negara dalam urusan keagamaan dan budaya hukum,” tegas Dr. Harun Maulana, ahli hukum perdagangan internasional dari Universitas Padjadjaran.

AS berargumen bahwa banyak produk makanan dan farmasi asal Amerika mengalami kesulitan masuk ke pasar Indonesia karena proses sertifikasi halal yang dinilai “kurang fleksibel” dan “tidak mengakui sepenuhnya standar internasional seperti Codex Alimentarius atau ISO 22000.” Mereka menilai Indonesia terlalu menutup diri terhadap lembaga sertifikasi halal dari luar negeri.

Namun, menurut UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang diperkuat oleh revisi dalam UU Cipta Kerja, sistem halal Indonesia menempatkan sertifikasi sebagai bentuk perlindungan konsumen Muslim dan penguatan industri halal dalam negeri. Prosesnya memang terstandarisasi ketat, dan harus melibatkan audit dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dalam negeri yang telah disetujui oleh BPJPH.

“Indonesia bukan anti perdagangan, tapi kita tidak akan mentransaksikan prinsip,” kata salah satu pejabat BPJPH yang tak ingin disebut namanya. Ia menambahkan bahwa Indonesia terbuka terhadap kerja sama, namun tetap dalam kerangka pengakuan timbal balik dan seleksi ketat atas kredibilitas lembaga luar.

Isu ini mencerminkan tarikan dua arah antara liberalisasi perdagangan global dan afirmasi identitas hukum domestik. Bagi AS, sistem halal Indonesia bisa dilihat sebagai hambatan non-tarif. Bagi Indonesia, sistem itu adalah manifestasi dari nilai-nilai ideologis yang dilindungi konstitusi.

Apakah Indonesia akan tunduk pada tekanan dagang? Atau justru memperkuat mekanisme mutual recognition arrangement (MRA) yang tetap menjaga kemandirian? Jawabannya akan menentukan arah hukum ekonomi Indonesia di tengah arus globalisasi yang makin agresif.

Artikel Terkait

Rekomendasi