Konvensi Internasional Gagal Menyepakati Regulasi Polusi Plastik

images (27)

Perundingan global untuk menyusun perjanjian internasional mengatasi polusi plastik berakhir tanpa kesepakatan pada 15 Agustus 2025 di Jenewa, Swiss. Negosiasi yang melibatkan sekitar 185 negara ini semula dijadwalkan selesai pada 14 Agustus, tetapi sempat diperpanjang hingga Jumat pagi tanpa hasil konkrit.

 

Tema utama perundingan adalah mencari solusi komprehensif untuk membatasi produksi plastik primer yang dinilai memicu krisis polusi plastik global. Namun, perbedaan sikap antarnegara sangat mencolok. Negara-negara produsen minyak dan petrokimia menolak pembatasan produksi plastik olahan dari bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan kebuntuan yang berlarut-larut dan kegagalan mencapai perjanjian yang mengikat secara hukum.

 

Draft teks perjanjian terakhir yang dirilis pada dini hari 15 Agustus masih mengandung banyak tanda kurung dan perbedaan pendapat di sekitar 120 poin penting. Teks itu diakui oleh sejumlah ahli sebagai kemajuan terbatas yang belum cukup kuat melindungi kesehatan manusia maupun lingkungan dari dampak polusi plastik dan bahan kimia berbahaya.

 

Salah satu isu besar adalah apakah perjanjian ini harus bersifat mengikat secara hukum atau sukarela. Negara-negara yang menghendaki ketentuan sukarela berargumen bahwa ini memberi fleksibilitas, sementara aktivis dan banyak negara lain menuntut aturan yang mengikat agar ada penegakan tegas dalam pengurangan produksi dan limbah plastik.

 

Delegasi dari Kolombia menuding negara produsen minyak sebagai penghambat utama perundingan. Beberapa negara petrokimia dan penghasil bahan bakar fosil seperti Arab Saudi dan Rusia dituding menentang ketentuan yang dianggap membatasi produksi plastik.

 

Negosiator dan aktivis lingkungan menyatakan kekecewaan mendalam atas kegagalan ini. Mereka menilai kegagalan tersebut mencerminkan lemahnya kepemimpinan dalam perundingan dan kurangnya komitmen negara-negara besar untuk mengambil langkah ambisius demi menyelamatkan planet dari krisis plastik. 

 

Masalah lain yang menjadi penghambat adalah ketidaksepakatan terkait cakupan isi perjanjian, termasuk pembatasan bahan kimia beracun dalam plastik serta mekanisme pendanaan untuk membantu negara berkembang dalam pelaksanaan perjanjian.

 

Rencana perjanjian ini awalnya diharapkan menjadi salah satu perjanjian perlindungan lingkungan signifikan yang sejalan dengan upaya pengurangan emisi karbon sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Iklim Paris 2015. Namun, hasil perundingan ini jauh dari yang diharapkan.

 

Sejumlah negara berkembang dan kepulauan kecil yang paling rentan terhadap dampak polusi plastik mendesak agar perjanjian menyertakan pengurangan produksi plastik global, bukan hanya fokus pada pengelolaan limbah.

 

Sejumlah organisasi lingkungan dan pelaku advokasi zero waste menyerukan agar para delegasi menolak draft perjanjian yang ada dan terus berkomitmen pada upaya pengurangan plastik demi masa depan kesehatan publik dan keberlanjutan planet. 

 

Menteri Lingkungan Hidup Prancis, Agnes Pannier-Runacher menyampaikan rasa frustrasinya karena meski diskusi sudah intens dan ada kemajuan dalam pembicaraan, namun tidak ada hasil nyata yang tercapai. Ketua Komite Negosiasi Antarpemerintah (INC), Luis Vayas Valdivieso menutup sidang dengan menyatakan perundingan belum mencapai akhir. Akan diperlukan perpanjangan waktu negosiasi untuk mencari solusi selanjutnya, meskipun tanpa jaminan waktu pasti.

 

Sejak dua tahun terakhir, negosiasi mengenai perjanjian plastik ini berlangsung dengan harapan menghasilkan instrumen global terkait pengaturan polisi plastik Namun, ketegangan dan perbedaan kepentingan antarnegara selalu menghambat kemajuan signifikan hingga saat ini.

 

Krisis polusi plastik kini semakin mendesak karena produksi plastik primer dan bahan kimia dalam plastik telah melewati batas daya dukung planet, berdampak buruk pada kesehatan manusia terutama kesehatan reproduksi perempuan dan laki-laki.

 

Sikap beberapa negara yang mengedepankan pendekatan sukarela dibandingkan aturan mengikat, serta adanya klausul-klausul pengecualian dalam draft perjanjian, menyebabkan instrumen ini dinilai tidak akan efektif jika disahkan dalam kondisi sekarang.

 

Kesimpulannya, kegagalan perundingan global ini menandakan perlunya reformulasi yang lebih tegas dan komitmen kuat dari semua pihak agar perjanjian plastik yang legal mengikat dapat diwujudkan demi melindungi lingkungan dan kesehatan manusia di masa depan.

 

Dengan tidak adanya kesepakatan ini, polusi plastik yang mengancam lautan, tanah, dan tubuh manusia berpotensi terus meningkat tanpa ada mekanisme global yang mampu mengendalikannya secara efektif di tingkat internasional. Pemimpin dari berbagai negara dihadapkan dengan tugas berat untuk mencari jalan keluar yang lebih serius dalam waktu dekat.

 

Sumber

 

https://www.tempo.co/lingkungan/negosiasi-inc-5-2-buntu-koalisi-draf-perjanjian-belum-jawab-akar-krisis-plastik-2059198

 

https://news.detik.com/dw/d-8063308/perundingan-global-batasi-polusi-plastik-berakhir-tanpa-hasil

 

https://www.breakfreefromplastic.org/id/2025/08/04/whats-slowing-down-the-plastics-treaty-talks/

 

https://news.detik.com/dw/d-7669139/dunia-gagal-sepakati-berakhirnya-polusi-plastik-secara-mengikat

 

https://www.dw.com/id/perundingan-global-polusi-plastik-diperpanjang-lagi/a-73648039

 

https://www.dw.com/id/dunia-gagal-sepakati-berakhirnya-sampah-plastik/a-70938612

 

https://hijau.bisnis.com/read/20250804/651/1899262/perundingan-dunia-atasi-polusi-plastik-terancam-gagal-efek-kebijakan-trump

Artikel Terkait

Rekomendasi