Perjanjian kerja diatur dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perjanjian antara pekerja dan pemberi kerja mencakup hak, kewajiban, serta syarat-syarat kerja. Hubungan hukum antara pekerja atau buruh dengan pemberi kerja bersifat perdata, yang berarti perjanjian ini dibuat antara pihak-pihak yang memiliki kapasitas hukum dan kedudukan perdata yang sah.
Perjanjian kerja bertujuan untuk membentuk hubungan kerja antara kedua belah pihak. Berdasarkan Pasal 1 ayat 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan, hubungan kerja didefinisikan sebagai hubungan yang terbentuk antara pekerja dan pemberi kerja setelah adanya perjanjian kerja, dengan unsur-unsur utama berupa pekerjaan, upah, dan perintah.
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, terdapat dua jenis perjanjian kerja, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu(PKWTT). PKWT merujuk pada kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha untuk menjalin hubungan kerja dalam jangka waktu tertentu atau untuk tugas tertentu. Sebaliknya, PKWTT adalah kesepakatan yang menciptakan hubungan kerja bersifat tetap antara pekerja dengan pengusaha.
PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) memiliki perbedaan mendasar, terutama dalam jangka waktu hubungan kerja. PKWT bersifat sementara dan sering disebut sebagai perjanjian kerja kontrak, sedangkan PKWTT tidak memiliki batas waktu dan dikenal sebagai perjanjian kerja tetap. Selain itu, terdapat beberapa perbedaan penting lainnya.
Pertama, dari segi durasi, pelaksanaan PKWT dibatasi hingga maksimal 5 tahun, termasuk perpanjangan. Sebaliknya, PKWTT tidak memiliki batasan waktu tertentu.
Kedua, jenis pekerjaan dalam PKWT terbatas pada pekerjaan dengan sifat tertentu, seperti proyek musiman, pekerjaan sementara, atau aktivitas yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Apabila pekerjaan tidak memenuhi ketentuan ini, maka secara hukum perjanjian tersebut akan berubah menjadi PKWTT.
Ketiga, pelaksanaan PKWT tidak mengizinkan adanya masa percobaan (probation), sementara PKWTT memperbolehkan masa percobaan selama maksimal 3 bulan dengan kewajiban perusahaan untuk membayar upah minimum selama periode tersebut.
Keempat, PKWT harus dibuat secara tertulis dan dicatatkan ke Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) dalam waktu tertentu, sedangkan PKWTT tidak memiliki kewajiban pencatatan serupa, meskipun harus disertai surat pengangkatan kerja jika tidak dibuat secara tertulis.
Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), PKWT diakhiri sesuai ketentuan dalam perjanjian kerja, sedangkan PHK pada PKWTT memerlukan putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial. Jika PKWT tidak dicatatkan sesuai ketentuan, perjanjian tersebut akan dianggap batal demi hukum dan otomatis berubah menjadi PKWTT. Hal ini berdampak pada tanggung jawab hukum perusahaan dan hak-hak pekerja.
Bagi perusahaan, penggunaan sistem PKWT dianggap lebih efisien dan efektif karena dapat mengurangi biaya operasional. Dengan sistem ini, pengusaha tidak perlu mempekerjakan banyak tenaga kerja secara tetap, sehingga pengeluaran untuk berbagai tunjangan, seperti tunjangan kesehatan, tunjangan PHK, dan tunjangan penghargaan kerja, dapat diminimalkan. Namun, bagi pekerja kontrak, sistem PKWT memiliki kelemahan. Mereka sering merasa kurang mendapatkan kepastian terkait durasi kerja, peluang untuk diangkat menjadi karyawan tetap, jenjang karier, status pekerjaan, dan hak atas pesangon saat masa kontrak berakhir.
Sumber :
https://media.neliti.com/media/publications/164960-ID-analisis-yuridis-perjanjian-kerja-waktu.pdf
https://mmp.law/perbedaan-pkwt-dan-pkwtt/