Aktivitas Tambang Nikel di Raja Ampat Disorot: Greenpeace Protes, Pemerintah Evaluasi Izin

IMG_9673

Aktivitas pertambangan nikel di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali menjadi sorotan publik. Sejumlah aktivis dari Greenpeace Indonesia menggelar aksi protes dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference and Expoyang berlangsung di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa (3/6/2025).

Dalam aksinya, para aktivis menyoroti dampak buruk pertambangan nikel terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal. Mereka menuntut pemerintah agar mengevaluasi seluruh izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan tersebut.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terdapat empat perusahaan tambang yang memiliki IUP di Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag dan sekitarnya. Namun, hanya tiga perusahaan yang mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), yang wajib dimiliki untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan.

Salah satu perusahaan besar di wilayah ini adalah PT Gag Nikel, yang memegang kontrak karya sejak 1998. Awalnya, 75% saham perusahaan ini dimiliki oleh Asia Pacific Nickel PTY LTD, sedangkan 25% dimiliki oleh PT Aneka Tambang Tbk (Antam). Pada 2008, seluruh saham diakuisisi oleh Antam. Berdasarkan data Kementerian ESDM, kontrak karya PT Gag Nikel terdaftar dalam sistem Mineral One Data Indonesia (MODI) dengan nomor 430.K/30/Db/2017. Perusahaan ini menguasai lahan tambang seluas 13.136 hektare, mendapat izin produksi pada 2017, dan mulai beroperasi pada 2018.

Perusahaan tambang lainnya adalah PT Anugerah Surya Pratama, entitas Penanaman Modal Asing (PMA) di bawah Siang Group asal Tiongkok. Anak perusahaannya, PT Wiang Nikel Indonesia, juga memiliki wilayah konsesi tambang di Pulau Waikeo dan Man, serta aktif di kawasan industri nikel Morowali, Sulawesi Tengah. Namun, berdasarkan catatan KLHK, perusahaan ini menjalankan kegiatan eksplorasi di Pulau Batang Pele tanpa dokumen lingkungan dan IPPKH yang sah. Akibatnya, seluruh aktivitas perusahaan telah dihentikan. Kantor pusat perusahaan tercatat di kawasan The Boulevard Office, Jakarta Pusat.

Tambang keempat yang beroperasi di Raja Ampat adalah PT KWI Sejahtera Mining. Mengutip laman resmi Kementerian ESDM, perusahaan ini memiliki IUP yang berlaku hingga 26 Februari 2033 dan terdaftar di Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. Namun, KLHK menemukan bahwa PT KWI Sejahtera Mining membuka area tambang seluas 5 hektare di Pulau Kawe di luar izin lingkungan dan IPPKH. Kegiatan tersebut telah menyebabkan sedimentasi di wilayah pesisir dan merusak ekosistem laut. KLHK telah menjatuhkan sanksi administratif berupa kewajiban pemulihan lingkungan, dan perusahaan terancam dikenakan sanksi perdata.

Aksi protes dari Greenpeace ini menambah tekanan terhadap pemerintah untuk lebih transparan dan tegas dalam menegakkan aturan lingkungan hidup serta meninjau kembali seluruh izin pertambangan di kawasan Raja Ampat—yang dikenal sebagai salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia.

Artikel Terkait

Rekomendasi