Profesi hukum seperti advokat dan notaris sering dianggap memiliki perlindungan khusus dalam menjalankan tugasnya. Hal ini kerap menimbulkan pertanyaan: apakah keduanya bisa dituntut pidana ketika menjalankan profesinya? Untuk menjawab hal ini, perlu dipahami landasan hukum yang mengatur peran advokat dan notaris, serta batasan tanggung jawab pidana yang melekat pada profesi tersebut.
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat memiliki imunitas dalam memberikan jasa hukum. Artinya, advokat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata sepanjang melaksanakan tugas dengan itikad baik untuk kepentingan klien. Namun, perlindungan ini tidak berlaku mutlak. Jika advokat terbukti melakukan tindak pidana, seperti penyuapan, pemalsuan dokumen, atau tindak pidana pencucian uang, maka status profesinya tidak dapat menghalangi proses hukum. Dengan kata lain, advokat tetap bisa dipidana apabila perbuatannya melampaui kewenangan profesionalnya.
Hal yang sama berlaku bagi notaris. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Jabatan Notaris, notaris memiliki kewenangan membuat akta autentik dan dokumen hukum lain yang sah secara hukum. Meski demikian, apabila notaris dengan sengaja membuat akta palsu, menyalahgunakan wewenang, atau turut serta dalam tindak pidana lain, maka ia dapat dijerat hukum pidana. Bahkan, Mahkamah Agung melalui beberapa putusan menegaskan bahwa notaris tidak kebal hukum jika ada bukti kuat bahwa ia terlibat langsung dalam tindak pidana.
Dalam praktiknya, aparat penegak hukum wajib membedakan antara kesalahan administratif atau etik dengan perbuatan pidana. Misalnya, kesalahan prosedural dalam pembuatan akta lebih tepat ditangani melalui Majelis Kehormatan Notaris atau organisasi advokat. Namun, jika kesalahan tersebut berindikasi tindak pidana, proses hukum pidana tetap dapat dijalankan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa advokat dan notaris memang dilindungi undang-undang dalam menjalankan profesinya, tetapi perlindungan itu bukan bentuk impunitas. Sepanjang ada bukti pelanggaran hukum, keduanya tetap bisa dituntut secara pidana. Dengan demikian, integritas, kepatuhan pada kode etik, dan profesionalisme menjadi kunci agar profesi hukum tetap terhormat sekaligus terlindungi dari risiko pidana.