Permasalahan Tafsir Hukum dalam Memahami KUHP 2023

Author Photoportalhukumid
24 Oct 2024
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Guru Besar di bidang Ilmu Hukum Pidana Universitas Padjadjaran.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. Guru Besar di bidang Ilmu Hukum Pidana Universitas Padjadjaran.

Dalam konteks hukum, setiap frasa dalam suatu undang-undang biasanya mengandung lebih dari satu makna, sehingga membaca ketentuan undang-undang memerlukan metode penafsiran yang tepat. Ada lima jenis penafsiran hukum yang umumnya digunakan: pertama, penafsiran historis, yaitu melihat dari sudut sejarah pembentukan undang-undang; kedua, penafsiran sosiologis, yang mempertimbangkan pandangan masyarakat saat undang-undang dibahas; ketiga, penafsiran teleologis, berfokus pada maksud dan tujuan pembentukannya; keempat, penafsiran sistematis, yang mempertimbangkan arti setiap frasa secara logis; dan kelima, penafsiran komparatif, yang membandingkan dengan ketentuan hukum lain. Dalam praktik peradilan, sering kali kelima metode ini diabaikan, dengan fokus utama hanya pada keberadaan bukti permulaan yang menghubungkan pelaku dan korban kejahatan.

Pergeseran dari KUHP 1946 ke KUHP 2023 adalah langkah strategis untuk menyesuaikan dengan perubahan pandangan masyarakat pascakemerdekaan. Perubahan sosial yang terjadi sepanjang abad ke-20 dan ke-21 telah memengaruhi pemahaman masyarakat tentang perbuatan yang patut dihukum. Misalnya, pandangan tentang kesusilaan berbeda antara masyarakat modern di Barat dan Timur, termasuk dalam hal zina dan hubungan tanpa pernikahan. Di Indonesia, penyelesaian konflik dengan menggunakan hukum adat sering kali menjadi pilihan pertama, seperti dalam kasus sengketa di Bali, yang menunjukkan pentingnya musyawarah dalam masyarakat Pancasila.

Indonesia sebagai negara hukum yang diatur oleh UUD 1945, pada intinya mengedepankan keadilan sosial. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dan ini diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Implementasi dari prinsip ini terlihat dalam pasal-pasal dalam KUHP 2023, yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana tanpa adanya ketentuan hukum yang mengaturnya. Namun, KUHP 2023 juga mengakui adanya hukum yang hidup di masyarakat, yang dapat memberikan sanksi bagi perbuatan yang tidak diatur secara eksplisit.

Dengan mengadopsi aliran pemikiran positif dan sosiologis, UU KUHP 2023 berupaya mengembalikan nilai-nilai budaya dan karakteristik bangsa Indonesia. Hal ini tercermin dalam berbagai pasal yang menekankan bahwa hukum tidak hanya sekadar norma dan sanksi, tetapi juga pengawasan dan sanksi sosial. Penambahan jenis pidana baru, seperti pidana pengawasan dan pidana kerja sosial, menunjukkan bahwa sistem pemidanaan di Indonesia kini lebih holistik, berfokus pada pemulihan dan reintegrasi sosial daripada sekadar penghukuman. Dengan cara ini, hukum pidana diharapkan bisa mencerminkan pandangan hidup Pancasila, yang mengedepankan nilai kemanusiaan dan keadilan.

Akhirnya, dalam konteks pembaharuan hukum pidana ini, penting untuk dicatat bahwa keadilan tidak hanya diukur dari segi legalitas, tetapi juga harus mencakup keadilan sosial yang berpihak pada semua lapisan masyarakat. Proses pemidanaan harus memperhatikan nilai-nilai lokal dan konteks budaya yang ada, serta memastikan bahwa setiap individu mendapatkan perlakuan yang adil di mata hukum, yang merupakan esensi dari negara hukum Indonesia.

Sumber:
https://nasional.sindonews.com/read/1477879/18/masalah-tafsir-hukum-di-dalam-membaca-kuhp-2023-1729757423/10

Artikel Terkait

Rekomendasi